Bapak diutamakan dari nenek, dan anak diutamakan dari cucu, dan seterusnya.
Tetapi jika ada diantara mereka yang lebih mengetahui tata cara memandikan, maka ia diutamakan dari yang lebih dekat nasabnya tetapi tidak mengerti tata cara memandikan mayat;
karena tujuan dari memandikan itu adalah terlaksananya kewajiban kifayah yang mesti dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’.
Jika laki-laki golongan ‘asabah tadi tidak diperoleh atau mereka diperoleh tetapi tidak ada yang mengetahui tatacara memandikan,
maka menurut fukaha dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah, diutamakan isterinya dari yang lain.
Jika isterinya tidak ada atau berhalangan, menurut Malikiyah, diserahkan pelaksanaanya kepada perempuan mahrimnya, seperti ibu, putri, saudari kandung dan tante.
Jika perempuan mahrimnya tidak ada, baru diperbolehkan perempuan yang ajnabi untuk memandikannya dengan cara mentayamum-kannya.
Lebih utama memandikan mayat perempuan adalah kerabatnya yang mahramah (seandainya ia laki-laki diharamkan baginya menikahinya),
seperti ibu, putri, saudari kandung, putri dari saudara, putri saudara laki-laki, tante, dan bibi.
Mereka ini diutamakan menurut kedekatan nisabnya dengan mayit.
Jika mereka tidak ada baru diserahkan kepada zawil arham yang tidak termasuk mahramnya seperti putri dari paman.
Jika kelompok zawil arham tidak ada, diserahkan kepada perempuan lain yang ajnabi, seterusnya kepada suami menurut Syafi’iyah dan Hanabilah. (*)
Cek Berita dan Artikel Mudah Diakses di Google News