TRIBUN PONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Guru Besar Bidang Ilmu Hadits Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, Prof. Dr. KH. Wajidi Sayadi menjelaskan tentang “Metode Maqashid Al-Hadits" atau bagaimana "Membangun Paham-Sikap Inklusif dan Moderat dalam Beragama".
Dalam penuturannya, untuk memahami Hadist Nabi Muhammad SAW perspektif ilmu hadis merupakan lahan besar yang terbuka luas untuk terus dikaji dan digali.
Hal ini karena Dalam studi hadis, obyek kajiannya mengarah pada otentisitas dan orisinalitas hadis, pemahaman makna hadis, dan living hadis berupa resepsi masyarakat dalam memahami hadis melalui bentuk tradisi yang hidup di masyarakat.
Selama ini, Kajian tentang otentisitas dan orisinalitas hadis merupakan kajian tahap awal untuk memastikan kebenaran hadis bersumber dari Nabi SAW atau tidak.
“Hadis Nabi Muhammad SAW. secara kuantitas tidak pernah bertambah dan kualitasnya sudah jelas, akan tetapi persoalan pemahaman makna yang terkandung dalam hadis itu masih sangat dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan, dan problem zaman yang dihadapi manusia. (an-nushush mutanahiyyah wa al-waqa’i gairu mutanahiyyah),” jelas Guru Besar Ilmu Hadits IAIN Pontianak yang baru-baru ini dikukuhkan.
• Komsan IAIN Pontianak Kobarkan Semangat Anti Korupsi Lewat Seni Monolog Teaterikal Puisi dan Tari
KH Wajidi Sayadi mengatakan, bahwa dalam perkembangan studi hadits, seringkali yang menjadi pemicu konflik adalah persoalan pemahaman makna hadis (fahm ma’ani al-hadits), walaupun hadisnya sudah disepakati kesahihannya.
“Kompleksitas pemahaman hadis dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain karena hadis ini meliputi ucapan, perbuatan, takrir, sifat dan kondisi fisik Nabi SAW. sehingga pemahamannya sangat erat kaitannya dengan psikologi, sosiologi, fungsi, dan kedudukan Nabi SAW. dalam kehidupannya di tengah-tengah sosial masyarakat yang pluralitas,” imbuhnya.
Wajidi Sayadi yang juga sebagai Wakil Ketua Umum MUI Kalbar juga mengungkapkan dari sekian banyaknya metode yang digunakan para ulama dalam memahami hadis terdapat satu metode yang disebut maqashid al-hadits. Atau maqashid as-sunnah. Sebagaimana dalam kajian metodologi tafsir al-Qur’an dikenal dengan metode Tafsir Maqashidiy. Sebuah metode untuk menguak tujuan al-Qur’an baik secara general (kullih) maupun parsial (juz’iyyah) dalam rangka merealisasikan kemaslahatan umat manusia.
“Metode maqashid ini pada prinsipnya tidak hanya sekedar membaca dan menghafal teks hadis, akan tetapi lebih dari itu dengan mengetahui pesan, maksud, dan tujuan yang dikehendaki Rasulullah SAW. secara umum diharapkan akan tercipta kemaslahatan umat manusia dan terhindar dari segala macam kemudaratan. Dengan demikian, hadis-hadis dapat dibumikan dalam kehidupan realitas sosial kemanusiaan. Sebuah pemahaman makna hadis dengan mempertimbangkan pada tujuan pokok dan subtansi serta secara holistik. Metode pemahaman hadis seperti ini dapat mengantarkan pada pemahaman dan sikap inklusif dan moderat,” sampai beliau.
Ia mencontohkan salah satu praktik penggunaan metode maqashid al-hadits dalam memahami hadis adalah salah satunya pada hadis mengenai pengobatan:
Nabi Muhammad SAW bersabda:
عَلَيْكُمْ بِهَذِهِ الحَبَّةِ السَّوْدَاءِ فَإِنَّ فِيهَا شِفَاءً مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلَّا السَّامَ" وَالسَّامُ المَوْتُ
Artinya: "Berobatlah dengan jintan hitam ini, sebab ia merupakan obat bagi segala penyakit kecuali kematian" (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah).
إِنَّ أَفْضَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ وَالْقُسْطُ الْبَحْرِيُّ
Sesungguhnya yang sangat utama pengobatan kalian adalah bekam dan al-qusth al-bahr (sejenis kayu-kayuan dari laut). (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Dalam hadis ini, Nabi Muhammad SAW menyebutkan jintam hitam, bekam, kayu-kayuan dari laut, sebagai sarana pengobatan.
Beliau menyebutkan sarana seperti ini sebagai sebuah contoh dan menjelaskan suatu fakta atau kejadian pada zamannya, tidak untuk mengikat bahwa semua umat Islam harus bahkan wajib berobat dengan apa yang disebutkan di dalam hadis tersebut. Sebagai sarana, bisa berubah-ubah sesuai perubahan perkembangan zaman, budaya, lingkungan, dan ilmu pengetahuan.
Adapun sarana pengobatan bisa bermacam-macam dan berubah-ubah sesuai perubahan perkembangan zaman, budaya, dan ilmu pengetahuan. Hari ini betapa banyak jenis obat dan pengobatan yang tidak pernah dikenal pada zaman Nabi SAW. Semuanya boleh selama tidak bertentangan dengan syariat.
• IAIN Pontianak Gelar Festival FEBI 2022 Bertajuk Era 5.0, Catat Tanggal Mainnya!
Adapun Maqashidnya atau tujuan yang dikehendaki dalam hadis adalah perintah agar selalu memperhatikan dan memelihara kesehatan, keselamatan dan kenyamanan fisik dan hidup, mengedepankan kemaslahatan jiwa.
Berobatlah ketika sakit. Berusaha mencegah semua yang dapat menimbulkan munculnya gangguan kesehatan. Beristirahat ketika sedang lelah dan letih, makan dan minum ketika lapar dan haus. Inilah sunnah Nabi SAW. Inilah Maqashid as-Sunnah atau Maqashid al-Hadits.
Hal ini sesuai dengan Maqashid asy-Syariah adh-Dharuriyyah, yakni حفظ النفس (memelihara nyawa dan kesehatan adalah suatu kebutuhan pokok dan kewajiban. Kesehatan dan keselamatan jiwa lebih tinggi kedudukannya dan lebih didahulukan dari pada sekedar pahala dan keutamaan dalam sebuah ibadah.
“Cara pandang dan metode Maqashid as-Sunnah seperti inilah yang digunakan para ulama ketika masa Covid-19 sehingga berkesimpulan boleh tidak merapatkan shaf dalam shalat berjamaah, boleh tidak shalat berjamaah apabila dinilai oleh yang berkompeten akan menimbulkan dan menularkan penyakit, dan lain-lain,“ ujarnya.
Ia berharap melalui metode Maqashid al-Hadits ini diharapkan memahami secara substansil dan holistic membuat ajaran Islam menjadi Shalihun li Kulli Zaman wa makan (ajaran Islam selalu relevan dengan perkembangan situasional dan kondisional.
Cek Berita dan Artikel Mudah Diakses di Google News