Syarat Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayahnya Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Satu di antara adegan dalam lakon Nciak Mun Sangun (jeritan Roh Penunggu Alam) yang di pentaskan oleh Dapur Teater Pontianak, di gedung teater tertutup Taman Budaya, Jl Jend A Yani,Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (15/9/2016) Pukul 19.00 WIB. Pementasan ini akan berlangsung hingga (17/9/2016). Cerita yang di tulis oleh Beben MC ini menceritakan tentang jeritan para roh penunggu alam akibat dari pengrusakan hutan yang semakin menjadi. Diawali dengan kisah seorang warga etnis Dayak yang bernama Apak Pagu, orang yang tidak bertanggung jawab yang silau dengan harta. Demi mendapatkan kekayaan pribadi, ia rela mengeksploitasi hutan yang selama ini memberi kehidupan bagi dia dan warga kampung setempat. Bahkan hutan adat yang di anggap keramat sekalipun. Ia pun menjual hutan tersebut kepada seorang pengusaha, yang akan merubah hutan adat menjadi sebuah pemukiman baru, yang akan dibangun gedung-gedung bertingkat,perumahan bahkan pusat perbelanjaan. Aksinya itu pun mendapat penolakan keras dari masyarakat adat hingga anaknya sendiri (Dawai). Saat manusia sudah tidak bisa di peringatkan lagi, para roh penunggu alam pun memohon kepada Jubata (Tuhan) untuk memberikan hukuman kepada orang yang selalu merusak alam. Akibatnya Apak pagu pun menjadi korban akibat perbuatannya sendiri, iapun meninggal karena sebuah bencana akibat dari pengrusakan hutan adat,hutan yang di anggap keramat oleh masyarakat adat.

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka (independen) memiliki peran penting guna menjaga hak konstitusi warganya.

Sesuai dengan prinsip negara hukum, dengan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 atas Judicial Review undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pada hakikatnya menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara serta menyatakan masyarakat hukum adat adalah penyandang hak, subjek hukum, dan pemilik hutan adatnya.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, hutan berdasarkan statusnya.

Pertama hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.

Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.

"Hutan hak dibedakan menjadi dua yaitu hutan adat dan hutan perseorangan atau badan hukum," kata Presedium Dewan Kehutanan Nasional, Glorio Sanen melalui rilis yang diterima tribunpontianak.co.id, Kamis (3/9/2020).

Sanen menjabarkan, hutan adat merupakan suatu kesatuan dengan masyarakat hukum adat, putusan Mahkamah konstitusi nomor 35 tahun 2012 mendefinisikan hutan adat ialah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Sehingga masyarakat hukum adat mempunyai hak membuka hutan ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi keluarganya.

Sehingga tidak mungkin hak masyarakat hukum adat itu ditiadakan atau dibekukan sepanjang memenuhi syarat dalam cakupan pengertian kesatuan masyarakat hukum adat seperti dimaksud pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

"Dengan adanya putusan ini, hutan adat bukan lagi hutan negara," jelasnya.

Harus ada aturan hukum yang mengaturnya, pemerintah tidak bisa lepas tangan karena jika pemerintah tidak segera mengeluarkan ketentuan yang mengatur tentang pengelolaan maupun pemetaan hutan adat, akan muncul masalah baru.

Sebab putusan Mahkamah hanya mengembalikan keberadaan hutan adat seperti dalam UUD 1945, bukan membuat regulasi baru.

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU-X/2012 telah mengembalikan hak konsitusi masyarakat hukum adat.

Sehingga pemerintah harus menindaklanjuti putusan ini dengan membuat peraturan pengelolaan hutan adat serta pemetaanya.

Presedium Dewan Kehutanan Nasional, Glorio Sanen. (TRIBUNPONTIANAK.CO.ID / ALFONS PARDOSI)
Halaman
12

Berita Terkini