PESANGON Hilang Hingga Mudah PHK Karyawan, Ini 9 Alasan KSPI Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Editor: Ishak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pesangon Hilang Hingga PHK Dipermudah, Ini 9 Alasan KSPI Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja / ILUSTRASI PENCARI KERJA

OMNIBUS Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja akhir-akhir ini menjadi polemik. 

Terutama di kalangan serikat pekerja, yang menyoroti secara langsung draft RUU yang merubah beberapa ketentuan lama di Undang-undang ketenagakerjaan 13/2003 itu. 

Dikutip dari Kompas.com, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia ( KSPI) mengungkapkan sembilan alasan menolak Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, yang disebut sudah ditandatangani Persiden Joko Widodo melalui Supres itu. 

Kesembilan alasan itu berangkat dari tiga prinsip buruh yang dianggap KSPI tidak terdapat dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja tersebut. 

Khawatir Omnibus Law, Gerakan Kesejahteraan Nasional Titip Aspirasi ke FPKS

Ketiga hal itu adalah job security atau perlindungan kerja, income security atau perlindungan terhadap pendapatan serta social security atau jaminan sosial terhadap pekerjaan. 

Presiden KSPI Said Iqbal saat memberikan keterangan pers terkait Omnibus Law RUU Cipta Kerja di kawasan Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (16/2/2020) (TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/ISTIMEWA/Deti Mega Purnamasari via KOMPAS.com)

Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan alasan-alasan tersebut, saat konferensi pers terkait RUU Cipta Kerja di Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (16/2/2020).

Kesembilan alasan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hilangnya Upah Minimum

"Dalam RUU Cipta Kerja, ada istilah yang disebut upah per satuan waktu dan per satuan hasil. Upah per satuan waktu adalah per jam, otomatis menghilangkan upah minimum," kata dia.

Tidak hanya itu, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah minimum provinsi (UMP) hanya berlaku di wilayah DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.

Para buruh, kata dia, menggunakan upah dari upah minimum kabupaten (UMK) dan upah minimum sektoral kerja (UMSK).

Namun dalam RUU Cipta Kerja, UMK dan UMSK dihapus dan digantikan UMP. 

Dukung Pembentukan Omnibus Law, Sukiryanto: Kedepankan Kepentingan Daerah

"Berarti hilang. Kalau tetap dipaksakan UMP, upah yang UMK/UMSK-nya lebih besar dari UMP masa diturunkan (kalau berpatokan hanya pada UMP)," kata dia.

Selain itu, perumusan kenaikan upah minimum juga hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi, tidak ditambahkan inflasi seperti halnya dalam PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Termasuk juga munculnya istilah upah padat karya yang dinilai KSPI sebagai upah minimum di bawah upah minimum.

Halaman
123

Berita Terkini