Selain tur gratis ke Xinjiang, China juga disebut menyalurkan sejumlah donasi dan bantuan finansial lainnya yang dibungkus dengan program beasiswa. Sejumlah siswa ormas-ormas Islam termasuk NU turut menerima beasiswa itu.
Merespons laporan itu, Muhammadiyah membantah bahwa organisasinya bungkam soal Uighur karena sejumlah bantuan dari China.
Sekretaris Jenderal PP Muhammadiyah, Abdul Muhti, menegaskan bahwa organisasinya independen dan tidak bisa didikte oleh pihak manapun apalagi asing.
"Muhammadiyah tidak akan menyampaikan suatu pandangan karena sumbangan. Apalagi selama ini tidak ada sumbangan untuk Muhammadiyah," kata Abdul saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Kamis (12/12).
Abdul juga mengatakan organisasinya menentang keras segala bentuk pelanggaran HAM oleh siapapun.
"Tidak terkecuali oleh China, Arab Saudi, Israel, dan sebagainya. Tetapi Muhammadiyah tidak akan bersikap tanpa bukti-bukti yang kuat. Dan tidak hendak mencampuri urusan dalam negeri negara lain," tambahnya.
Sementara itu, MUI membantah laporan WSJ tersebut. Menurut Kepala Hubungan Internasional MUI, Muhyiddin Junaiddi, tidak semua petinggi agama yang ikut tur ke Xinjiang mendukung sikap China terkait kebijakannya di wilayah itu.
Muhyiddin mengatakan kunjungannya ke Xinjiang pada Februari lalu sangat dipantau ketat oleh pihak berwenang China. Ia juga mengklaim orang-orang Uighur yang ia temui di sana terlihat ketakutan.
Muhyiddin mengatakan upaya China mengundang tokoh-tokoh Islam berpengaruh di Indonesia ke Xinjiang didesain untuk "mencuci otak opini publik. Ia bahkan mengatakan bahwa sejumlah tokoh Muslim Indonesia yang pernah mengkritik China soal Uighur malah jadi membela China.
Masduki Baidlowi sendiri membantah laporan tersebut. Dia mengatakan sampai saat ini prinsipnya terkait Uighur tidak pernah berubah.
Staf Khusus Wapres itu mengakui etnis Uighur di sana masih memprihatinkan terutama soal hak dasar beribadah. "Kalau kehidupan ekonomi memang cukup, tapi kan hidup tidak hanya masalah ekonomi. Jadi menurut kami ini persoalan kebebasan beribadah," kata Masduki saat dihubungi Kamis malam.
Dia menduga tuduhan itu dilontarkan karena sikap Indonesia berbeda dengan Amerika Serikat atau negara Barat yang selalu mengecam tindakan China terhadap Uighur. "Jangan karena kita tidak senada dengan Barat seolah dibeli oleh China. Itu pernyataan kasar dan tidak sopan," ujarnya.
Hingga saat ini, China membantah keras tudingan pelanggaran HAM terhadap suku Uighur itu. Beijing berdalih mereka hanya menampung warga Uighur dalam sebuah program pelatihan vokasi, bukan kamp penahanan.
Hal itu, papar China, dilakukan demi membantu memberdayakan masyarakat Uighur dan menghindari mereka terpapar paham radikalisme dan ekstremisme.
Kepala Humas Kedutaan Besar China untuk Indonesia, Huang Hui belum dapat memberikan komentar terkait laporan tersebut. (*)