Pilpres 2019

Live Streaming KompasTV Sidang Putusan MK dan Prediksi Pakar Hukum Jokowi atau Prabowo yang Menang?

Penulis: Nasaruddin
Editor: Nasaruddin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jokowi - Ma'ruf Amin dan Prabowo - Sandi

Sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 bakal digelar, Kamis (27/6/2019) siang ini. 

Sesuai jadwal, sidang pengucapan putusan MK ini bakal dimulai pukul 12.30 WIB.

Saksikan sidang pengucapan putusan MK melalui link Live Streaming berikut:

Link 1

Link 2

Jelang pengucapan putusan MK, beberapa pakar hukum menyampaikan analisisnya terkait kemungkinan vonis hakim.

Berikut analisis dari beberapa pakar hukum:

1. Refly Harun 

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun (Youtube Refly Harun and Partners)

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun memprediksi permohonan yang disampaikan Prabowo - Sandi akan ditolak.

Refly Harun menyampaikan, dirinya memprediksi hakim MK sudah memutuskan pada Senin kemarin.

"Saya membayangkan selesainya Senin kemarin. Kenapa Senin kemarin? Karena sorenya dikatakan bahwa putusan akan dimajukan pembacaannya satu hari lebih cepat," kata Refly Harun di Mata Najwa.

Refly mengatakan, itu merupakan indikasi.

"Kalau melihat pengalaman di MK, barangkali disputenya tidak terlalu kencang. Karena itu kemudian hakim bisa mencapai sebuah kesepakatan yang cepat," katanya.

Bagi pemohon, hal ini adalah Bad News. "Saya nggak bilang kalah. Saya bilang bad news," katanya.

Refly menyampaikan, kalau sengketa Pilpres itu paling enak pihak terkait.

"Yang tidak terlalu enak, pihak termohon. Karena biasanya dipaksa untuk membuktikan alat-alat bukti yang kadang nggak masuk akal," katanya.

Tapi yang paling sulit adalah pemohon. Karena pemohon ini ingin mendalilkan sesuatu hal yang besar.

"Satu, hal yang sifatnya kuantitatif. Dia mengatakan dia menang 52 persen. Kira-kira sampai akhir sidang itu muncul nggak angka 52 persen itu. Saya mengatakan, tidak muncul.

Refly menegaskan, kalau paradigmanya hitung-hitungan, dari awal dirinya mengatakan The Game is Over. 

Kemudian yang kedua, bicara tentang TSM dengan lima dalil yang kualitatif. 

"Keterlibatan Polisi dan Intelijen, penggunaan dana APBN, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, kemudian ada juga restriksi media, kemudian ada juga diskriminasi dalam penegakan hukum. Kira-kira sampai akhir sidang convincing nggak? 

Apakah terbukti secara sah dan meyakinkan, bisa meyakinkan hakim bahwa itu sudah terjadi secara TSM dan berpengaruh pada suara?

"Makanya sejak awal saya mengatakan, kalau paradigmanya hitung-hitungan, kedua TSM yang berpengaruh pada hitungan saya kira The Game is Over," kata Refly.

Hal itu menurutnya bukan sekadar karena tak berhasil dibuktikan, tapi beratnya minta ampun membuktikannya.

"Sangat susah, apalagi dalam konteks Pilpres. Jangan lupa, dalam konteks pemilihan kepala daerah, TSM itu tidak pernah satu provinsi," katanya. 

Refly mencontohkan di Jawa Timur, yang hanya Madura saja. Itupun tidak semua Kabupaten/Kota.

"Jadi dalam konteks TSM itu susahnya minta ampun. Karena itu, harapan itu bisa kalau hakim MK bergerak pada paradigma ketiga, yaitu paradigma yang Jurdil," katanya.

2. Feri Amsari

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari (Kompas.com)

Direktur Pusako, Feri Amsari, memprediksi kemungkinan kecil Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menang.

Feri menilai tim hukum Prabowo-Sandiaga belum menunjukkan bukti kuat untuk mendukung permohonan mereka.

"Saya selalu melihat perkara perselisihan ini dari alat bukti yang ditampilkan."

"Nah, sejauh ini alat bukti yang ditampilkan tidak memperlihatkan alat bukti yang kuat," kata Feri dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (23/6/2019).

Sebagai contoh, Feri menyebutkan soal penyelewangan dalam perolehan suara.

Ia mengatakan tim hukum Prabowo-Sandiaga belum bisa memperlihatkan bukti kuat terkait tudingan itu.

Terlebih sebelumnya tim hukum Prabowo-Sandiaga menarik bukti formulir C1 yang sempat diajukan.

Padahal MK telah memberi kesempatan untuk memperbaiki bukti agar bisa diterima.

Karena itu, Feri menilai hakim MK akan kesulitan memenangkan kubu Prabowo jika bukti dan saksi tidak mumpuni.

"Ini kan permasalahannya, terlepas dari ada persangkaan-persangkaan ya. Karena hukum bukan persangkaan."

"Kalau saya lihat ini karena kegagalan pihak pemohon melakukan pembuktian. Bukan tidak mungkin akan ditolak atau setidaknya tidak dapat diterima," lanjut dia.

3. Mahfud MD

Mahfud MD (Youtube Kompas TV)

Mahfud MD menilai saat ini hakim sudah bersepakat soal substansi pokok perkara apakah dikabulkan atau ditolak. 

Hal ini karena berdasarkan kebiasaan, sebelum majelis hakim menyepakati putusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), biasanya tidak diumumkan kapan waktu putusan akan diucapkan. 

"Kalau maju begini patut diduga, atau saya yakini ini (substansi putusan) sudah selesai (disepakati)," katanya.

Artinya, sambung Mahfud, hakim tidak lagi memperdebatkan soal substansi pokok perkara ditolak atau diterima karena itu sudah disepakati, tetapi tinggal menyisir narasi putusan. 

Lebih Lanjut, Mantan Ketua MK ini memprediksi bunyi putusan sidang yang akan disampaikan hakim besok.

"Sehingga menurut saya, besok putusan MK itu akan berbunyi begini, 'Memutuskan, satu, menerima permohonan pemohon, dua menolak eksepsi terhadap termohon dan pihak terkait, yang ketiga, mengabulkan atau menolak permohonan para pemohon'."

"Jadi menerima itu belum tentu mengabulkan, menerima itu artinya memeriksa dan itu sudah dilakukan kan."

"Dan mungkin juga nanti ada bagian-bagian yang diterima, 'Menerima permohonan pemohon, kecuali dalam posita nomor sekian, nomor sekian, nomor sekian, karena terlambat diajukannya, karena disusulkan jauh dari tenggat waktu masuk."

"Itu mungkin bisa begitu," tutur Mahfud MD.

Soal kemungkinan adanya dissenting opinion atau pendapat berbeda dari hakim MK, Mahfud menyebut hal itu bisa saja terjadi. 

Namun, hal itu juga diperkirakan sudah selesai karena diduga putusan sudah disepakati. 

"Misalnya tujuh hakim menyatakan ini ditolak, sementara dua hakim menyatakan ini dikabulkan. Sesudah diperdebatkan yang dua (hakim) tidak mau bergabung tidak apa apa. Tujuh sudah memutuskan," ujar dia. 

Mahfud menjelaskan, disenting opinion itu nanti akan diucapkan bersama pembacaan vonis aslinya.

"Misalnya, menyatakan mahkamah mengabulkan atau menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya dan terhadap putusan ini ada dua hakim yang menyatakan berbeda pendapat atau dissenting opinion yaitu si A silahkan dibaca, si B silahkan dibaca."

"Nanti pasti akan diucapkan dengan alasan-alasannya sendiri. Dan itu harus diucapkan memang secara terbuka untuk umum kecuali kalau sudah berdebat, hakim itu menyatakan ya sudah saya bergabung saja dengan yang menang dan tidak akan membuat dissenting opinion. dan itu terjadi," terang Mahfud. 

Mahfud menyakini hakim MK bakal memutuskan sengketa Pilpres 2019 tanpa tekanan dari pihak manapun. 

Hal itu diyakini Mahfud setelah dirinya menyaksikan jalannya persidangan. 

Ia juga mempercayai hakim MK tidak akan bisa main-main dengan putusan MK karena jika hakim disuap hal itu akan diketahui saat adu argumen di RPH. 

"Karena sembilan hakim MK itu duduk bersama dan adu argumen disitu. Kalau misalnya dia adu argmen mengada-ada, membela yang tidak benar atau membenar-benarkan yang salah, itu akan ketahuan saat argumentasi," ujar dia.

Hal itu berbeda dengan putusan di luar MK yang terkadang hakim membuat analisis sendiri tanpa disertai argumen. 

"Kalau di MK, argumen harus disampaikan bersama-sama di sidang sehingga bisa didebat oleh orang lain. Di situ antar hakim bisa saling tuding, adu literatur, akan ada yang bisa sampai berdiri menggebrak meja itu sudah biasa terjadi. Proses di RPH seperti itu dan saya kira itu yang berlangsung," tutur dia. 

Mahfud MD menganggap dalam sidang MK saat ini, hakim MK lebih mudah untuk memutuskan perkara dibanding kasus sengketa Pilpres di 2009. 

Hal ini karena dalam sidang MK kali ini tidak ada adu bukti dan adu dokumen. 

Berbeda dengan sidang MK 2009 yang menurut Mahfud diwarnai adu bukti dan adu dokumen.

"Lha yang sekarang ini kan nggak ada adu bukti ya. Misalnya klaim bahwa paslon 01 mendapat 52 persen kemudian paslon 01 mendapat 48 persen. Klaim itu sama sekali tidak dibuktikan. Kan tidak ada kemarin, 52 persen ini terjadi di sini , 52 persen ini formulir nomor sekian nomor sekian, ini buktinya," ungkap dia. 

Secara kualitatif, Mahfud juga menilai tidak ada bukti yang disajikan di persidangan. 

Misalnya soal DPT ganda dan KTP palsu, tidak membuktikan langsung terhadap perolehan suara. 

Soal kesaksian tentang Situng juga dianggap Mahfud hanya membuang-buang waktu karena Situng tidak dipakai sebagai dasar penghitungan suara. 

"Sehingga (kali ini) gampang, memudahkan memutuskannya," kata Mahfud.

Berita Terkini