Minum Ramuan Akar Kuning, Kakek Ini Sembuh dari Hepatitis B

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Paguyuban Dayak Uud Danum Kota Pontianak, Rafael Syamsuddin (61) menunjukkan tanaman akar kuning dan pakutusun yang siap diminum di kediamannya, Jalan PGA, Gang Kemuning Jalur dua, Pontianak, Sabtu (12/8/2017).

Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Ridhoino Kristo Sebastianus Melano

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK – Hepatitis B merupakan masalah kesehatan dunia, termasuk di Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan lebih dari 680 ribu orang meninggal dunia tiap tahun akibat komplikasi hepatitis B, seperti siroris dan kanker hati.

Di Indonesia sendiri, hasil riset kesehatan dasar yang dirilis pada 2015 menunjukkan bahwa penderita hepatitis di Indonesia diperkirakan mencapai 28 juta orang, dimana setengah di antaranya berpotensi untuk menjadi kronis, dan 10 persen dari risiko kronis tersebut akan mengalami sirosis atau bahkan kanker hati.

Penyakit berbahaya ini pernah diderita oleh Rafael Syamsuddin. Kakek berusia 61 tahun ini divonis dokter hanya mampu bertahan hidup selama 11 bulan akibat hepatitis b yang ia derita.

(Baca: Dua Tahun Penelitian, Dosen Kehutanan Untan Ini Temukan Obat Anti Radang dari Hutan Kalimantan)

Peristiwa naas itu ia alami ketika bertugas di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat tahun 2000 lalu.

Namun vonis dokter tak terbukti, ia mampu bertahan hingga tahun 2017. Artinya telah 17 ia bertahan hidup dan telah sembuh total dari penyakit hepatitis b.

“Saat itu saya stres. Malamnya tidak bisa tidur saya dibuatnya,” katanya kepadatribunpontianak.co.id, Sabtu (12/8/2017).

Mendapat vonis seperti itu, ia lalu berobat ke Kota Pontianak. Dokter di sana juga menyatakan bahwa ia menderita hepatitis b. Dokter menyarankannya untuk opname dan membuat surat agar beristirahat selama dua minggu.

Ketika berobat ke Kota Pontianak, ia memperoleh kiriman tanaman akar kuning dan pakutusun dari mertuanya di kampung. Selama dua minggu Rafael mengonsumsi obat dari dokter dan juga obat yang diberikan mertuanya.

Ramuan obat akar kuning dan pakutusun yang direbusnya, diminum bersamaan dengan obat pemberian dokter. Dua minggu waktu istirahat pun berlalu, ia lantas memeriksakan kesehatan pada dokter tersebut.

Dokter tersebut mengaku mencari-cari dirinya.

Ia telah mencari ke rumah sakit St Antonius dan Dr Soedarso. Namun tak berhasil menemukan Rafael. Dengan polosnya Rafael mengaku tidak begitu paham dengan maksud perkataan dokter yang menyuruhnya beristirahat.

“Oh gitu, kata dokter. Jadi saking lucunya sama-sama ketawa. Saya tak paham. Saya bilang gitu,” cerita Rafael.

Dokter yang memeriksa Rafael heran dan kaget mengapa bisa normal.

Dokter meminta ia datang kembali keesokan harinya untuk melakukan pemeriksaan kesehatan kembali.

“Besok saya cek lagi ke situ. Betul normal rupanya bapak.

Berarti obat bapak mujarab saya bilang gitu, tapi tidak saya bilang dia, makan obat tradsional ini, sampai sekarang,” imbuhnya.

Tak hanya akar kuning dan pakukusan saja yang berhasil menyembuhkan Rafael dari penyakit yang diderita.

Tahun 1980 saat ia masih bekerja sebagai tukang kayu di kampungnya Desa Ambalau, Kabupaten Sintang ia pernah mengalami disentri.

Disentri adalah infeksi pada usus yang menyebabkan diare yang disertai darah atau lendir. Diare merupakan buang air besar encer dengan frekuensi yang lebih sering dari biasanya.

Di samping diare, gejala disentri lainnya meliputi kram perut, mual atau muntah, serta demam.

Penyakit ini menganggu aktivitasnya dalam bekerja.

Pada waktu itu orangtuanya menyuruh Rafael mencari pohon langsat hutan. Kulit langsat muda yang lagi berair dikikis.

Kikisan tersebut dimakan sekaligus, atau bisa pula disertai air yang direbus. Namun Rafael langsung memakan dengan kulit-kulitnya. “Dua kali saya mengonsumsi kulit langsat tersebut dan berhasil sembuh dari penyakit disentri,” ucapRafael yang juga Ketua Paguyuban Dayak Uud Danum Kota Pontianak.

Mulai Resah

Rafael mengaku resah karena banyak generasi muda saat ini yang tidak tahu jenis tanaman lokal dan manfaatnya.

Agar selalu terjaga, setiap pulang ke kampung, ia selalu menceritakan pengalamannya yang sembuh karena mengonsumsi obat tradisional.

Pernah dulu staf nya ketika masih bertugas di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Mempawah, 2005 lalu bercerita bahwa bibinya terkena liver dan kritis di rumah sakit.

Rafael meminta stafnya mengambil ramuan akar kuning dan pakutusun di rumahnya pada malam hari. Ia berpesan agar ramuan ini direbus bersamaan.

Air rebusan yang telah berwarna kuning diminum bersamaan obat pemberian dokter.

“Sekitar sebulan, saya tanya pada starf mengenai keadaan bibinya. Ternyata bibinya telah sembuh dan pulang ke Jawa,” tutur Rafael.

Rafael bahkan telah mengajukan permohonan pada WWF Kalbar untuk mengidentifikasi potensi yang ada di hutan adat Desa Sakai, Kecamatan Ambalau, Kabupaten Sintang agar kelestarian hutan beserta isinya dapat terus terjaga.

Tanaman Obat

Dua dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura (Untan) telah menemukan obat anti diabetes dan anti radang dari tanaman lokal Kalimantan Barat. Kedua dosen tersebut ialah Dr Fathul Yusro, S.Hut, M.Si. dan Dr Yeni Mariani, S.Hut, M.Sc. Keduanya dinyatakan lulus ujian Program Doktor Kuroshio Science di Kochi University Jepang 23 Juli 2017.

Obat anti diabetes dihasilkan dari penelitian beberapa tanaman meliputi Durian Meranang (Durio dulcis), Durian Pekawai (Durio kutejensis), Petai Kedaung (Parkia timoriana), Petai (Parkia speciosa), Sengkuang (Dracontomelon dao), and Enceriak (Baccaurea costulata).

Sedangkan obat anti radang dihasilkan dari penelitian tanaman yang memiliki potensi anti-inflamasi untuk dilakukan uji lanjut yaitu Tekeriho (Calicarpa longifolia), Penahan (Myrmeconauclea strigosa), Tebelion (Eusideroxylon zwageri), Kerokak (Scoparia dulcis) dan Bungur (Lagerstroemia speciosa).

“Saya tahu semua tanaman itu, ada di kampung kita, Desa Sakai Kecamatan Ambalau, Kabupaten Sintang. Tanaman-tanaman itu memang ada di sana,” katanya.

Menurutnya, orangtua dulu banyak menggunakan tanaman itu, ketika belum ada mantri dan tenaga kesehatan pada waktu itu. Namun sekarang kurang dipakai, padahal barang itu melimpah.

Selain dimakan buahnya, dari kulitnya bisa diambil menjadi obat. Zaman leluhur dulu memang banyak dipakai sebagai obat pusing, malaria dan segala macam. Mengolah kedaung ada yang dengan dibakar, seperti dibuat kopi.

Kedaung ini dipergunakan untuk sakit perut juga bisa, tetapi dengan batas tertentu. “Kalau kelebihan justru kembungnya makin jadi,” tuturnya.

Ada tanaman lokal yang disebut masyarakat pakutusun.

Tanaman ini dapat ditemukan dalam hutan. Tanaman ini bisa digunakan untuk obat kanker dan hepatitis yang dicampur dengan akar kuning.

Ada juga yang disebut masyarakat lokal burutemang yang berada di dahan kayu. Orang sekarang menyebutnya sarang semut.

Pakutusun merupakan tanaman yang ada di dalan tanah.

Tanamannya seperti pakis, namun memiliki isi berupa umbi yang sebesar ukuran paha manusia. Ini yang khasiatnya tinggi.

“Kalau orang dulu kan tidak tahu jenis penyakitnya apa.

Tahunya kalau sakit ini pakai ini. Sakit ini obatnya ini,” ungkap Rafael.

Ada lagi pohon belawan yang batangnya berwarna kuning.

Pohon ini berkasiat sebagai obat darah tinggi dan pusing.

Bila tanaman seperti kedaung dan lainnya tidak amouh, dipakailah belawan.

Pohon belawan, batangnya bergerombolan, besar-besar satu hingga dau meter untuk pohon yang tua. Sedangkan tebelion jarang digunakan masyarakat sebagai obat.

Tebelion ini merupakan kayu ulin.

Umumnya masyarakat gunakan untuk membuat rumah.Tekeriho, Penahan, Tebelion , Kerokak dan Bungur biasanya digunakan pula oleh masyarakat mengobati anak yang mengalami kejang atau ayan.

Caranya dengan direbus, kemudian dimandikan dalam ramuan tanaman tersebut. Tanaman  ini juga bisa digunakan untuk menguatkan orang yang baru melahirkan, namun dicampur ramuan lainnya.

Masyarakat mengenal tanaman obat ini, sejak leluhur dulu. Justru hilangnya sejak adanya tenaga medis modern.

“Kalau saya masih di pakai, kalau tidak enak badan minum akar kuning dan patutusun. Caranya dengan direbus dengan air putih biasa, lalu diminum,” ungkapnya.

Tanaman-tanaman ini memang ada di hutan Kalimantan Barat. Bahkan tersedia dengan jumlah yang cukup banyak. 

Berita Terkini