Berita Viral
PKL seperti Penjual Pecel Lele Bisa Dipenjara karena UU Tipikor? Ini Penjelasan Pakar Antikorupsi
Ia mencontohkan, jika pasal itu diterapkan secara kaku, maka pedagang kaki lima pun bisa dijerat sebagai koruptor karena dianggap merugikan negara.
Penulis: Ridhoino Kristo Sebastianus Melano | Editor: Ridhoino Kristo Sebastianus Melano
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID – Pernyataan mengejutkan datang dari mantan pimpinan KPK, Chandra Hamzah, yang menyebut bahwa penjual pecel lele di trotoar bisa dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
Hal ini ia sampaikan dalam sidang uji materi UU Tipikor di Mahkamah Konstitusi pada 18 Juni 2025.
Chandra menyoroti dua pasal dalam undang-undang tersebut Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 yang dinilainya kabur dan multitafsir.
Ia mencontohkan, jika pasal itu diterapkan secara kaku, maka pedagang kaki lima pun bisa dijerat sebagai koruptor karena dianggap merugikan negara.
Pasal-pasal itu, menurutnya, berpotensi digunakan secara represif terhadap rakyat kecil yang sebenarnya tidak punya niat melakukan korupsi.
Chandra pun mengusulkan agar frasa “setiap orang” dalam pasal diganti menjadi “pegawai negeri” untuk menyesuaikan dengan semangat Konvensi Antikorupsi PBB.
Ia menegaskan bahwa hukum antikorupsi harus melindungi masyarakat, bukan malah menindas mereka.
[Cek Berita dan informasi berita viral KLIK DISINI]
Mengapa Penjual Pecel Lele Bisa Disebut Koruptor?
Pernyataan tersebut disampaikan Chandra saat hadir sebagai ahli dalam sidang uji materi UU Tipikor di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu, 18 Juni 2025.
Menurutnya, pasal-pasal dalam undang-undang itu mengandung multitafsir dan tidak memenuhi asas kepastian hukum.
Chandra menyoroti dua pasal krusial, yakni Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
"Maka penjual pecel lele bisa dikategorikan melakukan tindak pidana korupsi; ada perbuatan memperkaya diri sendiri, melawan hukum, dan merugikan keuangan negara," kata Chandra dalam sidang yang disiarkan lewat kanal YouTube Mahkamah Konstitusi.
Apa Bunyi Pasal-Pasal yang Dipermasalahkan?
Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor:
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana penjara 4 sampai 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar."
Pasal 3 UU Tipikor:
"Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana dengan ancaman yang sama."
Kedua pasal ini, menurut Chandra, terlalu luas dan kabur.
Akibatnya, siapapun bisa dijerat sebagai koruptor, termasuk mereka yang tidak memiliki kekuasaan negara, seperti penjual makanan kaki lima.
Bagaimana Penjual Pecel Lele Bisa Terkena Pasal Ini?
Chandra memberikan contoh ekstrem: seorang penjual pecel lele berjualan di trotoar sebuah area publik yang bukan diperuntukkan untuk berdagang.
Jika pasal ini diterapkan secara kaku, maka unsur-unsur korupsi bisa "dipenuhi" sebagai berikut:
- Melawan hukum: karena menggunakan trotoar, fasilitas umum, tanpa izin.
- Menguntungkan diri sendiri: memperoleh penghasilan pribadi dari kegiatan itu.
- Merugikan keuangan negara: karena trotoar bisa rusak atau fungsi publiknya terganggu.
Padahal, jelas Chandra, kasus semacam ini bukanlah esensi tindak pidana korupsi sebagaimana mestinya.
Apa Solusi yang Diusulkan?
Chandra mengusulkan agar:
- Pasal 2 Ayat (1) dihapus karena melanggar asas lex certa (rumusan harus jelas dan tidak kabur).
- Pasal 3 direvisi, khususnya dengan mengganti frasa "setiap orang" menjadi "pegawai negeri" atau "penyelenggara negara", agar sesuai dengan prinsip dalam Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC).
"Korupsi seharusnya dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang punya kewenangan, bukan rakyat biasa yang hanya mencari nafkah," tegas Chandra.
Apakah UU Tipikor Saat Ini Rentan Disalahgunakan?
Uji materi ini diajukan karena kekhawatiran publik bahwa UU Tipikor terlalu lentur dan dapat digunakan untuk menjerat siapa saja, termasuk masyarakat kecil, dalam konteks hukum yang represif.
Jika tafsir undang-undang tidak diperjelas, maka aparat penegak hukum dapat menggunakan pasal ini sebagai alat penindasan, bukan pemberantasan korupsi.
Catatan Redaksi
Pernyataan Chandra Hamzah membuka mata kita bahwa semangat pemberantasan korupsi harus tetap berpijak pada keadilan dan akal sehat hukum.
Meskipun pemberantasan korupsi adalah keharusan, regulasinya tidak boleh menciptakan ketakutan atau jebakan hukum bagi rakyat kecil yang berjuang mencari nafkah.
UU Tipikor memang penting sebagai instrumen hukum untuk membersihkan praktik korupsi di Indonesia.
Namun, rumusannya harus adil dan tidak menimbulkan tafsir yang menyesatkan, apalagi menyasar mereka yang sebenarnya bukan sasaran utama undang-undang ini.
Sebagai masyarakat, kita perlu mendorong legislasi yang berpihak pada keadilan substantif, dan bukan sekadar formalitas hukum.
(*)
Artikel ini telah tayang di TribunJatim.com dengan judul Penjual Lele Goreng Kaki Lima Bisa Jadi Koruptor, Eks Pimpinan KPK Bahas UU Tipikor yang Multitasfir
• Baca Berita Terbaru Lainnya di GOOGLE NEWS
• Dapatkan Berita Viral Via Saluran WhatsApp
!!!Membaca Bagi Pikiran Seperti Olahraga Bagi Tubuh!!!
UU Tipikor terbaru
Penjual pecel lele
Tindak Pidana Korupsi
Chandra Hamzah
Penjual pecel lele bisa jadi koruptor
Pasal multitafsir dalam UU Tipikor
PERNYATAAN Terbuka AMSI Media Massa Harus Kedepankan Standar Etika Tertinggi dalam Produk Berita |
![]() |
---|
KRONOLOGI Lengkap Penangkapan Aktivis Delpedro Sempat Diikuti Aparat Saat Hendak Ganti Pakaian |
![]() |
---|
Viral Aksi 2 Siswa SMP Bunuh Pemilik Salon Terungkap Motif dan Kronologi hingga Ditangkap Polisi |
![]() |
---|
Kejanggalan Kasus Kematian Mahasiswa Unnes Iko Juliant Junior, Diantar Brimob Dalam Kondisi Kritis |
![]() |
---|
HEBOH Temuan 5 Mayat Satu Keluarga Tewas Terkubur di Rumah Mewah 2 Lantai Ungkap Motif dan Kronologi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.