Kunci Jawaban
Soal Bahasa Indonesia Kelas 8 SMP Kurikulum Merdeka, Kunci Jawaban Kegiatan 6 Latar Karya Fiksi
soal dan jawaban pelajaran Bahasa Indonesia Kelas pada kurikulum merdeka belajar halaman 126 Kegiatan 6 Mencermati Penulisan Latar Karya Fiksi Bab 4
Penulis: Dhita Mutiasari | Editor: Dhita Mutiasari
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Yuk kita pelajari soal dan jawaban pelajaran Pendidikan Bahasa Indonesia Kelas 8 SMP / MTs pada kurikulum merdeka belajar halaman 126.
Soal yang dibahas adalah Kegiatan 6 Mencermati Penulisan Latar Karya Fiksi Bab 4 Menulis Karya Fiksi pada kurikulum merdeka belajar.
Soal dan jawaban dapat dijadikan bahan belajar dirumah untuk siswa.
Siswa dapat mempelajari materi soal terlebih dahulu di buku paket baru kemudian mencocokkan jawaban yang ada.
Materi pelajaran terdapat pada satu dari 6 Bab diantaranya Bab 1 Menulis Teks Laporan Hasil Observasi, Bab 2 Membuat Iklan, Slogan, dan Poster, Bab 3 Menulis Artikel Ilmiah Populer, Bab 4 Menulis Karya Fiksi, Bab 5 Menciptakan Puisi dan Bab 6 Menulis Teks Pidato.
Inilah selengkapnya pembahasan soal dan jawaban pelajaran Bahasa Indonesia Kelas pada kurikulum merdeka belajar halaman 126 Kegiatan 6 Mencermati Penulisan Latar Karya Fiksi Bab 4 Menulis Karya Fiksi pada kurikulum merdeka belajar serta beberapa sumber :
• Soal Bahasa Indonesia Kelas 8 SMP Kurikulum Merdeka, Jawaban Kegiatan 5 Sifat Tokoh Karya Fiksi
Kegiatan 6 Mencermati Penulisan Latar Karya Fiksi
Bacalah sebuah karya fiksi. Cermatilah cara pengarang menuliskan latar ceritanya. Apakah pengarang menulis latar yang membuat kalian dapat membayangkan lokasi dan waktu terjadinya cerita secara jelas?
Dalam kolom berikut, tulislah cara pengarang menuliskan latar dan berilah penilaian!
Lembar Analisis Latar Cerita Pendek
Judul cerita : Aku, Ibu, dan Putri Bulan
Pengarang : Eko Sugiarto
Penulisan latar yang dilakukan pengarang: Penulis ingin mengisahkan tentang ketegaran seorang ibu yang tetap tersenyum demi anak-anaknya meski kepedihan ditinggal ayah dari anak-anaknya.
Ketegaran seorang ibu yang telah mengantarkanku menjadi seorang sarjana. Kuharap belum terlambat untuk bisa memahami setiap senyumanmu. Senyum yang selalu mendamaikan hatiku. Ibu, izikan aku memahamimu.
Penilaian saya : Penulis yakin bahwa kejadian ini banyak ditemui dimasyarakat. Banyak orang yang tegar dalam menghadapi pahit getarnya hidup maka penulis menggambarkan situasi tersebut dalam sebuah cerpen.
Pengarang berhasil/kurang berhasil menuliskan latar (coret yang tidak sesuai).
Alasannya : Penulis berhasil menuliskan latar cerita.
• Soal Bahasa Indonesia Kelas 8 SMP Kurikulum Merdeka, Kegiatan 4 Mendiskusikan Unsur Karya Fiksi
Halaman 127
1. Apa judul cerita yang kalian baca?
2. Apa tema yang terdapat dalam cerita tersebut?
3. Alur apa yang digunakan oleh cerita tersebut (alur maju, mundur, atau campuran)?
4. Pesan apa yang hendak disampaikan pengarang melalui ceritanya?
Kunci Jawaban
1. Judul : Aku, Ibu, dan Putri Bulan
Karya : Eko Sugiarto
2. Tema : Keluarga
3. Alur : Campuran
4. Pesan yang disampaikan melalui cerita ini memberikan pesan bahwa
Ketegaran seorang ibu yang tetap tersenyum demi anak-anaknya meski sang Ibu merasa kesepian semenjak ditinggal suami atau ayah dari anak-anaknya.
Contoh Cerpen
Aku, Ibu, dan Putri Bulan
Cerpen Eko Sugiarto
(Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 12 Juni 2011)
Ibu, sampai detik ini tak juga aku bisa memahamimu. Tak juga tahu apa arti di balik setiap senyummu. Aku tak pernah bisa membedakan kapan saatnya kau bersedih dan kapan saatnya kau bahagia. Saat ayah meninggal, tak kulihat kau menitikkan air mata. Bahkan, kau masih sempat tersenyum saat teman temanku datang ke rumah, beberapa saat setelah ayah dimakamkan. Padahal, aku bisa merasakan betapa beratnya beban yang harus kaupikul setelah itu. Aku tak pernah bisa membayangkan bagaimana kau lalui semua ini. Sendiri, tanpa ayah.
Saat aku menerima toga, engkau juga tersenyum. Padahal saat itu aku tak bisa membendung air mata. Entah air mata untuk siapa. Mungkin untuk ayah yang telah damai di sana, mungkin juga untuk ketegaranmu. Ketegaran seorang ibu yang telah mengantarkanku menjadi seorang sarjana. Kuharap belum terlambat untuk bisa memahami setiap senyumanmu. Senyum yang selalu mendamaikan hatiku. Ibu, izikan aku memahamimu.
Malam dingin mencekat. Aku terpekur. Tak ada yang ingin aku kerjakan. Bahkan aku tak tergerak keluar rumah sekadar untuk menatap purnama tanggal lima belas yang sedang bulat penuh karena hanya akan mengingatkanku kepadamu, Ibu. Membuatku semakin ingin bermanja di pangkuanmu sembari mendengar dongeng tentang ksatria yang terbang menuju bulan dengan kuda terbangnya untuk menjemput sang putri yang ditawan makhluk jahat di bulan.
Itulah kenapa selalu terlihat bercak hitam di bulan, meskipun saat purnama penuh sebab di bulan masih ada makhluk jahat bermuka hitam. Makhluk jahat berambut gimbal, panjang hampir menyentuh tanah. Makhluk jahat yang telah beberapa kali turun ke bumi untuk menculik gadis-gadis kecil yang nakal untuk dijadikan teman sang putri yang menjadi tawanannya. Begitu salah satu cerita yang pernah meluncur lancar dari bibirmu, Ibu.
Saat aku masih jadi anak satu satunya. Saat aku belum pernah berpikir bahwa kelak akan lahir adik-adik yang membuatku cemburu karena aku harus berbagi kasih sayang yang kauberikan dengan mereka. Malam bertambah larut. Aku bertambah ngelangut. Ingin memajamkan mata, tak bisa. Wajah ibu menyergap mengisi seluruh ruang kenanganku. Muncul begitu tiba tiba di depan mata. Bahkan saat terpejam pun, wajah ibu seakan lekat di balik kelopak mata.
Putri yang ditawan makhluk jahat di bulan. Dongeng yang selalu kuingat setiap kali memandang bulan yang sedang purnama penuh. Terlepas dari ada atau tidak, yang jelas aku terobsesi dengan dongeng itu. Kata ibu, putri yang ditawan di bulan itu begitu cantik. Dengan kecantikannya konon putri itu bisa meluluhkan setiap hati, termasuk hati makhluk jahat yang menawannya. Karena itulah makhluk jahat itu tak pernah menyentuh sang putri. Hanya memandangnya, cukuplah itu. Tak heran ketika itu aku sering berkhayal menjadi sang putri. ”Pasti senang jadi sang putri, ya Bu. Bisa leluasa menatap bumi.” ”Siapa bilang.
Meskipun segala keperluannya dipenuhi, sang putri tetap ingin kembali ke bumi.” ”Lho, memangnya kenapa, Bu?” ”Sebab dia tak bisa hidup sendiri. Di bulan dia kesepian. Karena itulah sang pangeran berkali-kali berusaha menyelamatkan sang putri. Tapi selalu gagal. Entah sampai kapan sang putri akan menjadi tawanan.” Dongeng ini selalu diulang oleh ibu kepada adik adikku setiap kali bulan purnama tiba. Anehnya, setiap kali ibu mendongeng, aku pasti ikut mendengarkannya.
Selalu saja ada hal baru yang ditambahkan ibu setiap kali mendongeng, meskipun inti dan jalan ceritanya tetap sama. Kebiasaan ikut mendengarkan dongeng itu terus berlanjut sampai akhirnya pada suatu malam, beberapa hari setelah meninggalnya ayah, ibu kembali mendongeng tentang putri yang ditawan makhluk jahat di bulan. Saat itu, adikku yang umurnya belum genap tiga tahun tiba tiba bertanya, ”Bu, berarti ayah sudah bisa bertemu dengan sang putri di bulan sana, ya. Berarti ayah sudah senang?” Karena tak sanggup menahan air mata, aku meninggalkan mereka. Tapi ibu masih setia melanjutkan dongengnya. Entah bagaimana caranya ibu bisa menyembunyikan kepedihan hatinya dari adik-adikku ketika itu.
Menjelang tengah malam, ibu datang ke kamarku. Dia mengetuk pintu berkali-kali. Aku pura-pura memejamkan mata. ”Ibu tahu kau belum tidur. Ibu tahu apa yang kaurasakan. Adikmu benar. Ayahmu telah bahagia di sana. Kita hanya bisa mendoakannya,” tiba-tiba saja ibu sudah duduk di tepi ranjangku. Aku menghambur ke dada ibu. Terisak di pelukan ibu.
”Kau sekarang sudah dewasa. Apa kau tak ingin cari pendamping hidup?” Aku mengernyitkan kening. Sejak kepergian ayah, inilah kali pertama ibu menyinggung masalah pendamping hidup..
”Bagaimana? Apa kau sudah punya pilihan?” tanya ibu sambil tersenyum. ”Pilihan?” Ibu mengangguk. ”Ya. Pilihan. Pilihan sebagai pendamping hidup? Sudah punya?” ”Bukankah Ibu saja sudah cukup sebagai pendamping hidupku?” ”Tidak, Nak.
Ibu tak mungkin mendampingimu selamanya, juga adik-adikmu. Ibu telah tua. Ibu tak ingin kau kesepian.” Dadaku sesak tiba-tiba. Sebuah impitan begitu keras menekanku. Ah, Ibu. Berarti selama ini kau merasa kesepian. Kupikir keberadaanku di sisimu bisa sedikit mengobati kesepianmu semenjak kepergian ayah. Juga tawa ceria adik-adik. Ternyata aku salah. Malam kian larut. Sengaja aku tak keluar rumah. Bahkan sekadar untuk menatap purnama penuh tanggal lima belas yang selalu mengingatkanku kepada dongeng dongeng yang meluncur dari bibir ibu. Lembut dan menghanyutkanku ke alam mimpi.
Cek Informasi Tentang Kunci Jawaban Lainnya Disini
(*)
50 Soal dan Kunci Jawaban PTS PJOK Kelas 1 SD Semester Ganjil Kurikulum Merdeka Tahun 2025 |
![]() |
---|
50 Soal dan Jawaban PTS PJOK Kelas 2 SD Semester Ganjil Kurikulum Merdeka Tahun 2025 |
![]() |
---|
50 Soal dan Jawaban PTS PJOK Kelas 4 SD Semester Ganjil Kurikulum Merdeka Tahun 2025 |
![]() |
---|
50 Soal dan Jawaban PTS PJOK Kelas 5 SD Semester Ganjil Kurikulum Merdeka Tahun 2025 |
![]() |
---|
50 Soal dan Jawaban PTS PJOK Kelas 6 SD Semester Ganjil Kurikulum Merdeka Tahun 2025 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.