Khazanah Islam
Haram atau Dibolehkan Menikahi Saudara Sepupu dalam Islam
Pernikahan merupakan hubungan antara dua orang yang diakui sah oleh masyarakat yang bersangkutan yang berdasarkan atas peraturan perkawinan
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Ada beberapa kalangan masyarakat di Indonesia percaya bulan Rabiul Awal sebagai bulan kebahagian.
Dasar itupula biasanya dijadikan alasan untuk menggelar hajatan seperti acara pernikahan.
Pernikahan merupakan hubungan antara dua orang yang diakui sah oleh masyarakat yang bersangkutan yang berdasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku.
Baik oleh aturan yang bersumber dari hukum positif maupun hukum Agama.
Lantas bagaimanakah jika perkawinan dilakukan oleh saudara sepupu?
• Anak Pertama Menikah dengan Anak Terakhir - Mitos yang Berkembangan di Masyakarat
Dibolehkan atau diharamkan?
Dikutip dari buku Kumpulan Tanya Jawab Quraish Shihab, sepupu atau anak saudara lelaki ayah atau saudara ibu bukan mahram karena itu boleh terjalin hubungan perkawinan antara sepupu.
Mereka tidak disebut oleh ayat yang berbicara tentang mahram sebagaimana diterangkan dalam Al-Quran Surah An-Nisa’ ayat 23, tidak juga dalam hadis Rasulullah SAW.
Senada dengan hal tersebut, Farid Nu’man Hasan dalam buku Fiqih Perempuan Kontemporer juga menegaskan bahwasannya sepupu bukanlah mahram atau orang yang boleh dinikahi (hal. 208)
Menurut KBBI mahram diartikan sebagai 1 orang (perempuan, laki-laki) yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah.
Sebagaimana dilansir oleh Muhammadiya.or.id melalui Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Syamsul Hidayat menerangkan tidak ditemukan nash-nash baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah yang sahih lagi maqbul yang melarang pernikahan antar saudara sepupu.
“Jadi artinya dalam fatwa tarjih tentang menikahi saudara sepupu itu dibolehkan karena tidak terdapat larangannya di Al-Quran maupun As-Sunah al-Maqbulah,” tutur Syamsul Hidayat.
Syamsul menerangkan bahwa terdapat ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih lagi maqbul yang menerangkan perempuan-peremupuan yang tidak boleh dinikahi oleh laki-laki (mahram) atau sebaliknya, yakni dalam QS. An-Nisa ayat 3, 22, 23, dan 24, QS. Al-Baqarah ayat 228, 230, 234, dan 235, dan QS. An-Nur ayat 3.
Syamsul kemudian mengutip QS. An-Nisa ayat 22-24 karena dirasa lebih relevan dengan persoalan yang sedang dibicarakan.
Menurut Syamsul, jika hubungan mahram yang disebutkan pada ayat-ayat di atas disusun secara sistematis, maka hubungan mahram itu dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mahram yang termasuk tahrim mu’abbad dan mahram yang termasuk tahrim muaqqat.