Harga TBS Sawit Terus Turun, Dewan Sekadau Minta Pemda Ambil Langkah Tegas
Harap Pemerintah Daerah Kabupaten Sekadau ambil sikap dan inovasi untuk membantu petani kelapa sawit, Rabu 18 Mei 2022.
Penulis: Marpina Sindika Wulandari | Editor: Try Juliansyah
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SEKADAU - Anggota DPRD Kabupaten Sekadau, Ari Kurniawan Wiro ungkap keprihatinan terhadap turunnya harga TBS sawit secara terus menerus.
Harap Pemerintah Daerah Kabupaten Sekadau ambil sikap dan inovasi untuk membantu petani kelapa sawit, Rabu 18 Mei 2022.
Dikatakan Ari, merosotnya harga TBS sawit khususnya di wilayah Kabupaten Sekadau tidak sejalan dengan Permentan nomor 1 Tahun 2018, kemudian petunjuk pelaksanaannya melalui Pergub nomor 63 Tahun 2018, dimana sudah diatur bahwa harga pembelian TBS produksi pekebun ditetapkan oleh tim penentuan indeks "K" dan penentuan harga TBS yang dilakukan tiap dua Minggu sekali di Dinas Perkebunan.
"Kita tahu harga penetapan ini di angka 3.600 rupiah, sementara di hampir semua PKS membeli buah plasma dan mandiri di bawah dari harga standar. Maunya kita pemerintah ada ketegasan terkait hal ini. Harus berinovasi pemerintah kita," Ujarnya.
• Sudah Ada Empat Bakal Calon Kades untuk Desa Sungai Ringin Sekadau
Menurutnya, Pemerintah Daerah harus mengambil langkah tegas dalam waktu dekat. Setidaknya mengumpulkan PKS yang ada di Kabupaten Sekadau dan beri sanksi tegas bagi PKS yang masih menerapkan harga di bawah harga standar.
Lebih lanjut, Ari juga menyayangkan belum ada upaya tegas dari Pemerintah Daerah. Padahal sektor perkebunan kelapa sawit juga masuk visi misi Pemerintah Daerah Kabupaten Sekadau. Yang dikenal dengan program IP3K.
Program IP3K itupun sejalan dengan komoditas unggulan di Kabupaten Sekadau yakni kelapa sawit. Diunggah Ari bahkan bisa dikatakan mayoritas masyarakat Sekadau menggantungkan hidupnya di perkebunan kelapa sawit.
Penurunan harga TBS sawit diungkapkan Ari sebetulnya sudah menjadi hal yang lumrah. Terkhusus 2 tahun lalu, dimana harga TBS sawit menyentuh angka 1000 per kilogram. Namun saat itu biaya perawatan masih terjangkau oleh petani.
Sementara saat ini harga perawatan dan mobilisasi mengalami kenaikan lebih dari 100 persen. Contoh kecilnya adalah harga pupuk yang dulunya Rp. 300.000,- perkarung. Sekarang hampir Rp. 800.000,- perkarung seberat 50 kg.
"Memang ada sisi negatif dan positif, seperti kita ketahui tidak semua masyarakat Indonesia mempunyai kelapa sawit. Memang kebijakan larangan ekspor CPO ini sangat berpengaruh, tetapi paling tidak Pemerintah Daerah mengambil tindakan agar Pemerintah Provinsi segera menindaklanjuti persoalan yang berkaitan dengan larangan ekspor tersebut, " Lanjutnya.
Sementara itu, di sisi lain. Ari juga menyayangkan belum ada tindakan tegas dari Pemerintah Daerah terhadap loading ramp yang juga berperan besar dalam hancurnya tata niaga kelapa sawit di Sekadau.
Terlebih loading ramp juga tidak berkontribusi pada PAD selama ini.
"Kita dulunya berharap pertanian ini mendongkrak perekonomian masyarakat ya, sekarang malah belum ada pergerakan yang signifikan. Perlu dibenah lagi, program bagus tapi implementasinya yang paling penting. Harus tegas menindak loading ramp yang tidak jelas. Karena tidak berkontribusi terhadap pad ini juga merusak tata niaga kebun," Pungkasnya. (*)
Cek Berita dan Artikel Mudah Diakses di Google News