Khazanah Islam
Bolehkah Puasa Syawal Tidak Beruntun ? Bagaimana Pendapat Imam Syafi'i & Hambali ?
Terkait waktunya apakah harus beruntun menuru Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menjelaskan dari pendapat Imam Ahmad
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Setelah merayakan Hari Raya Idul Fitri 1443 H pada tanggal 1 Syawal umat Islam juga dianjurkan untuk menunaikan puasa sunnah selama 6 hari.
Puasa syawal dilaksanakan pada tanggal 2 - 7 syawal yang memiliki keutamaan mendapat pahala yang besar.
Bahkan puasa syawal juga bisa dilaksanakan sekaligus dengan puasa qadha, jika ada yang bolong saat bulan puasa di bulan ramadhan akibat adanya halangan.
Seperti sakit, tidak mampu atau bagi wanita datang haid.
Banyak yang bertanya apakah diharuskan syawal harus beruntun?
Mengenai ketentuan pelaksanaan puasa syawal sudah ada ketentuan tersendiri.
Terkait waktunya apakah harus beruntun menuru Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menjelaskan dari pendapat Imam Ahmad, puasa Syawal boleh berurutan dan boleh pula tidak berurutan.
• Hikmah dan Pahala Puasa Syawal, Hingga Niat Puasa Syawal Bisa Dilakukan Siang Hari
Dan tidaklah yang berurutan lebih utama daripada yang tidak berurutan.
Artinya bisa dilakukan kapan saja, bisa dilakanakan berbarengan dengan puasa Senin Kamis sehingga mendapat banyak pahala puasa.
Sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi, puasa Syawal lebih diutama dilaksanakan secara berurutan sejak tanggal 2 Syawal hingga 7 Syawal.
Berdasarkan pendapat lain, yakni Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu mengatakan, puasa enam hari di bulan Syawal boleh dikerjakan secara terpisah-pisah atau tidak berurutan.
Tapi lebih afdal berurutan dan langsung setelah hari raya (dikerjakan tanggal 2 – 7 Syawal).
Namun secara keseluruhan tidak ada madzhab yang melarang puasa syawal diluar tanggal 2 sampai 7, yang penting masih berada di bulan Syawal.
• Kapan Mulai Puasa Syawal 2022? Berapa Hari Puasa Syawal?
Tapi, hendaknya tidak berpuasa khusus di hari Jum’at tanpa mengiringinya dengan puasa di hari Kamis atau Sabtu karena adanya larangan Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
Para ulama menjelaskan bahwa larangan itu menegaskan makruhnya puasa di hari Jum’at tanpa mengiringinya dengan puasa di hari Kamis atau Sabtu.