Harga Cabai di Kalbar Makin Pedas! Rekor, di Kalbar Capai Rp 200 Ribu Per Kilogram
Daripada jual harga tinggi, untuk apa, mending tidak jualan cabai. Sudah seminggu ini tidak jualan,
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SINTANG - Kenaikan harga cabai rawit di Kalimantan Barat jelang akhir tahun 2021 makin pedas. Bahkan di Kabupaten Sintang, harga cabai rawit menyentuh level tertinggi Rp 200 ribu per kilogram.
Di Pasar Junjung Buih, Kecamatan Sintang, pedagang mengaku terpaksa menjual cabai rawit dengan Rp 200 ribu per kilogram pada Senin 27 Desember 2021 kemarin. Pasalnya, di tingkat agen harga cabai rawit sudah mencapai Rp 170 ribu per kilogram.
Tingginya harga cabai di tingkat agen, bahkan membuat sebagian pedagang berpikir ulang untuk membeli kemudian menjualnya secara eceran. Sebagian pedagang memilih sementara waktu tidak menjual cabai rawit di lapak dagangannya.
Seperti yang dilakukan Wariani, pedagang sayur di Pasar Junjung Buih, Kabupaten Sintang. Sejak sepekan terakhir, dia memilih untuk tidak menjual cabai karena harganya terlampau mahal. "Memang tidak mampu (beli). Barang mahal," katanya pada Senin 27 Desember 2021.
"Daripada rugi, belinya mahal, kami lebih memilih tidak beli, tidak jual cabai. Daripada jual harga tinggi, untuk apa, mending tidak jualan cabai. Sudah seminggu ini tidak jualan," ujar Wariani.
• Harga Selangit❗ Pedagang Pilih Tak Jualan Cabai, Wariani : Modalnya Mending Buat Beli Beras Sekarung
Harga cabai di Kabupaten Sintang, merangkak naik sebulan terakhir. Semula, harga eceran di tingkat pedagang Rp 120 ribu per kilogram. "Kemarin sempat beli yang cabai hijau 100 ribu. Bapaknya (suami) bilang gini, 'boro-boro beli cabe, modal saja ndak balek'. Mending jual gini jak (sayur-mayur), daripada modal beli cabai, mending belikan beras dapat sekarung," katanya.
Pedagang lainnya di Pasar Junjung Buih, Marijan juga mengungkapkan, kenaikan harga cabai merangkak naik sebulan terakhir. Semula, harga eceran di tingkat pedagang Rp 120 ribu per kg.
"Sebelum Natal sudah naik. Baru kali ini harganya menyentuh Rp 200 ribu. Tahun biasanya tidak pernah. Kalau cabai hijau tingkat agen Rp 100 ribu. Kami jual Rp 130 ribu," ungkapnya.
Marijan menyebut, kenaikan harga cabai disebabkan pasokan dari petani lokal terhambat. "Selama ini pasokan lokal dari Pakak (Nanga Mau) kebanyakan mati karena banjir, pasokan kurang, jadi harga naik. Sementara pasokan dari Sanggau, Pontianak, Singkawang kurang, ndak mampu mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat," kata Marijan.
Akibat kenaikan harga cabai yang makin pedas, Marijan sering menerima keluhan dari masyarakat. "Sebagai pedagang, berapa pun harga kita jual. Konsumen yang sering mengeluh," katanya.
Thomas Edison, petani sekaligus pengepul cabai di Desa Pakak, membenarkan jika pasokan cabai ke agen yang ada di Pasar Masuka berkurang. Faktornya adalah gagal panen. “Iya, berkurang (pasokan cabai dari Pakak). Gagal panen,” kata Edison dikonfirmasi Tribun, kemarin.
Selama ini, pasokan cabai dari petani lokal di Desa Pakak mendominasi pasaran Sintang. Jika pasokan berkurang, otomatis berpengaruh terhadap stabilitas harga cabai di pasaran.
“Pasti, Bang (berpengaruh terhadap harga di pasaran-red). Meski selain dari Pakak, ada juga pasokan dari Desa Sungai Sintang, Kecamatan Dedai, Desa Kumpang dan Beragah. Ada juga dari Silat Hulu, Selimuk Nanga Nuar dan Desa Perejuk,” ungkap Edison.
Gagal panen cabai di Desa Pakak disebabkan oleh faktor cuaca ekstrem. Sebab lainnya, tanaman banyak terserang oleh hama dan penyakit yang menyebabkannya rusak dan mati.
“Sekarang masih terjadi. Gagal panen akibat dari curah hujan tinggi. Tanaman banyak terserang hama dan penyakit, jadi tanaman banyak yang rusak dan mati,” katanya.
Edison mengatakan, saat ini harga cabai dari Desa Pakak dijual di Pasar Masuka Sintang berkisar Rp 130 ribu per kilogramnya. “Pasokan normalnya 700 sampai 1 ton per harinya. Sekarang paling tinggal 200-300 kilogram per harinya,” ujarnya.
Edison berharap, pemerintah dapat memberikan bantuan pupuk dan bimbingan PPL dari instansi terkait, termasuk perbaikan jalan dan jembatan. “Tentunya bantuan pupuk, insektisida, herbisida pestisida dan bimbingan PPL dari instasi terkait, serta perbaikan jalan dan jembatan demi akses transportasi,” harapnya.
Plt Kabid Perdagangan pada Disperindagkop dan UKM Kabupaten Sintang, Darkum, belum menjawab upaya konfirmasi Tribun Pontianak melalui pesan WhatsApp, mengenai harga cabai di Kabupaten Sintang.
Sementara Bupati Sintang, Jarot Winarno, memastikan akan memperhatikan harapan petani cabai di Desa Pakak. “Kita perhatikan,” jawabnya singkat ketika dikonfirmasi Tribun Pontianak.
Melambungnya harga cabai juga terjadi di Kabupaten Sekadau. Sejumlah warga kemudian menyikapinya dengan beralih membeli cabai olahan dalam kemasan botol. Pilihan ini dianggap lebih menguntungkan secara ekonomis, karena harganya lebih terjangkau dibanding cabai segar.
Satu di antaranya warga Desa Sungai Ringin, Ayang (27), yang lebih memilih membeli sambal botolan untuk meramaikan cita rasa makanan saat perayaan Natal. "Kalau beli cabai segar yang biasa itu Rp 20 ribu per ons, setara harga minyak goreng seliter, berat di kantong," ungkapnya.
Menurut Ayang kenaikan harga tersebut cukup menyulitkan konsumen. Mengingat, naiknya harga sudah terjadi beberapa hari menjelang Natal. Ia pun khawatir harga cabai terus melambung menjelang Tahun Baru 2022.
"Harapannya sih pemerintah bisa bantu cari solusi untuk harga cabai ini. Karena walaupun kecil, cabai juga punya pengaruh besar untuk pedagang makanan, seperti gorengan, pentol dan makanan pedas lainnya," tandasnya.
Tidak Wajar
Dalam menanggapi lonjakan harga beberapa bahan makanan di Indonesia, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, operasi pasar oleh pemerintah daerah atau Kementerian Perdagangan saja tidak cukup.
“Pandemi lagi menurun, tentu harapan kita enggak ada kenaikan kasus lagi, jadi logikanya distribusi lancar, sektor riil produktif, dan harga kebutuhan barang pokok makin terjangkau oleh konsumen,” kata Tulus.
Pemangku kebijakan lainnya, seperti kepolisian hingga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), juga perlu terlibat mengawasi hingga menelusuri dugaan penimbunan dan kartelisasi bahan pangan. Hal ini diperkirakan dari kenaikan harga tidak wajar, khususnya di wilayah Pulau Jawa.
”Saya kira kenaikan beberapa bahan pokok di masa Natal dan Tahun Baru kali ini bukan karena momen ini sendiri. Kenaikan harga biasanya di bawah 10 persen, tapi sekarang tinggi sekali. Saya kira, momen akhir tahun kali ini hanya dijadikan kedok saja untuk menaikkan harga secara ugal-ugalan dan mendistorsi pasar dan supply chain bahan pangan,” ujarnya.
Kecurigaan adanya permainan harga di pasar menguat karena situasi pandemi yang melonggar tidak seharusnya mengganggu rantai distribusi dan permintaan barang yang bisa memengaruhi harga.
”Pandemi lagi menurun, tentu harapan kita enggak ada kenaikan kasus lagi, jadi logikanya distribusi lancar, sektor riil produktif, dan harga kebutuhan barang pokok makin terjangkau oleh konsumen,” pungkas Tulus.
[Update Berita seputar Harga Cabai]