Sekjen FKMS Ade M Iswadi Saran Ini untuk Pemerintah Atasi Banjir di Sintang
"Di Kapuas Hulu 91% masih bertutupan hutan, di Melawi 69% masih bertutupan hutan, dan Ketungau 60% masih bertutupan hutan. Jika dilihat dari data Kapu
Penulis: Agus Pujianto | Editor: Rivaldi Ade Musliadi
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SINTANG - Sekretaris Jendral Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) Kabupaten Sintang, Ade Muhammad Iswadi mengungkapkan daerah tutupan berkurang dan alih fungsi lahan tentu ada penyebabnya. Namun jika ada yang mengatakan sawit dan aktivitas PETI sebagai penyebab utama perlu juga dikaitkan dengan pengalaman Sintang banjir tahun 1963 yang jauh lebih besar tidaklah disebabkan oleh sawit dan PETI yang belum ada pada saat itu.
"Berkurangnya chatchmen area (Daerah Tangkapan Air/DTA) seiring terjadinya deforestasi dan alih fungsi lahan dimana Sintang yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas diklaim sebagai wilayah paling terpengaruh karena menyambut kiriman dari 3 sub DAS, yaitu Kapuas Hulu, Melawi, dan Ketungau," kata pria yang akrab disapa Ami, Kamis 25 November 2021.
Berdasarkan data yang dihimpu Ami, ketiga sub DAS tersebut memiliki DTA seluas 3,66 juta Ha dengan rincian Kapuas Hulu yang meliputi penggunaan Muller seluas 1,86 juta Ha, Melawi yang meliputi pegunungan Schwaner seluas 1,67 juta Ha, dan Ketungau seluas 117 ribu Ha.
"Di Kapuas Hulu 91% masih bertutupan hutan, di Melawi 69% masih bertutupan hutan, dan Ketungau 60% masih bertutupan hutan. Jika dilihat dari data Kapuas Hulu tentu lebih baik dibanding kondisi Melawi dan Ketungau," ujar Ami.
Mestinya, ujar Ami, jika intensitas hujan tinggi dan berkepanjangan Melawi dan Ketungau paling menjadi penyumbang tumpahnya air hujan ke sungai sehingga menjadi meluap dengan cepat dan itu akibat DTA berkurang. Kawasan di daerah Melawi dan Ketungau akan terdampak dan Sintang selalu menjadi penampungnya.
"Bagaimana dengan Kapuas Hulu, karena memiliki DTA baik mestinya saat intensitas hujan tinggi dan lama air tidak banyak terbuang ke sungai, namun faktanya Kapuas Hulu juga mengalami sering banjir yang cukup parah," jelasnya.
Menurut Ami, Fenomen La nina menyebabkan curah hujan tinggiberpotensi besar menyebabkan banjir di daerah Sintang.
• 139 Sekolah di Sintang Terendam, Buku Pelajaran jadi Bubur Kertas dan Sutarmidji Bantu Seragam Siswa
Kondisi banjir di DAS Kapuas dan Sub DAS diperparah lagi karena bersamaan dengan naiknya permukaan aik laut. Sehingga air laut masuk ke sungai-sungai mendesak air sungai balik ke hulu.
Jika melihat kondisi dari pengalaman lalu dan kondisi beberapa tahun belakangan serta kondisi terkini, menurut Ami perlu ada kajian dan adanya solusi adaptasi dan mitigasi karena Sintang khususnya akan tetap menghadapi situasi banjir.
Pengendalian data dan informasi terkait bencana banjir secara komprehensif baik tempat, kondisi wilayah, jumlah KK/jiwa/anak-anak/rumah dan lainnya yang relevan perlu dibuatkan sistem yang secara pakem. Hak itu akan menjadi baseline untuk upaya solusi adaptasi dan mitigasi terkait bencana banjir. Early warning system juga harus menjadi sebuah menu yang kapan saja diperlukan selalu tersedia secara update.
"Soal adanya perkebunan sawit dan PETI. Dengan kondisi yang ada, keduanya bukan faktor utama sebenarnya tapi bisa kita katakan turut memperparah kondisi saja. Sebagai contoh lahan sawit yang terlalu luas merusak chatchmen area (daerah tangkapan air), sedangkan PETI bisa menyebabkan terjadinya pendangkalan sungai akibat banyaknya sedimen dan lumpur yang mengendap di dasar sungai dan tentunya juga akan menyebabkan berkurangnya daya tampung sungai," jelas Ami.
Ami menegaskan, jika menilik kembali pada kejadian banjir besar tahun 1963, dan hanya sawit dan Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) dikatakan penyebab utama saat itu kebun sawit dan PETI belum ada. Menurutnya, perkebunan sawit dan PETI tetap ada andil dalam kerusakan DAS Kapuas dan Sub DAS.
• Rumah Lansia di Sintang Roboh Akibat Banjir, Kakek Bujang Sempat Menolak Dievakuasi
Perkebunan sawit dan PETI berperan mempercepat proses terjadinya banjir jika hujan ekstrim terjadi dalam waktu yang lama. Dimana perkebunan sawit akan mempengaruhi kurangnya daya serap tanah terhadap limpahan air hujan, sedangkan PETI menyebabkan berkurangnya daya tampung sungai.
"Jadi kalau boleh menyampaikan saran pendapat, ada baiknya perkebunan sawit dikurangi atau ada semacam solusi bagaimana agar DTA tetap ada di tengah perkebunan dan CSR juga bisa digunakan untuk kajian solusinya," harap Ami.
Terkait aktivitas PETI baik di darat maupun di sungai, Ami menilai perlu untuk diperhatikan secara komprehensif karena menyangkut banyak pertimbangan. Namun perlu segera diatasi sesuai dengan regulasi yang dikeluarkan pemerintah sebagai rujukannya dengan diawali dialog multipihak untuk mencari kesepahaman bersama.