Breaking News

Hukum Jual Beli COD Cash of Delivery, Apakah COD Diperbolehkan dalam Islam?

“Nabi SAW bersabda sesungguhnya jual beli itu sah, apabila dilakukan atas dasar suka sama suka.” HR. Ibnu Hiban dan Ibnu Majah

Penulis: Nasaruddin | Editor: Nasaruddin
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID
Ilustrasi Cash of Delivery (COD). 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Seiring perkembangan teknologi, pola jual beli online tumbuh pesat, salah satunya pola akad Cash of Delivery (COD).

Jika dikaji berdasakan syarat dan rukun jual beli, bagaimana hukum COD tersebut?

Terkait hal ini, kita harus mengetahui lebih dahulu pengetian jual beli dalam Islam.

Secara etimologis (bahasa) jual beli adalah tukar menukar secara mutlak (mutlaq al-mubadalah) atau berarti tukar menukar sesuatu dengan sesuatu (muqabalah syai’ bi syai’).

Pengganti Doa Qunut Saat Shalat Subuh dan Hukum Jika Tidak Membaca Qunut

Sedangkan jual beli menurut istilah adalah pertukaran harta dengan harta untuk keperluan pengelolaan yang disertai dengan lafal ijab dan 
kabul menurut tata aturan yang ditentukan dalam syariat Islam.

Jual beli merupakan akad yang dibolehkan menurut al-Quran, Sunnah dan ijmak ulama.

Maka, hukum asal jual beli adalah mubah atau boleh.

Ini artinya setiap orang Islam bisa melakukan akad jual beli ataupun tidak, tanpa ada efek hukum apapun.

Rukun Jual Beli

Rukun jual beli adalah ketentuan yang wajib ada dalam transaksi jual beli.

Jika tidak terpenuhi, maka jual beli tidak sah. Mayoritas ulama menyatakan bahwa rukun jual beli ada empat yaitu:

a. Penjual dan pembeli (aqidain).

b. Barang yang diperjual belikan (ma’qud alaih).

c. Alat nilai tukar pengganti barang.

d. Ucapan serah terima antara penjual dan pembeli (ijab kabul).

Apa Saja Syarat Sah dan Rukun Jual Beli dalam Islam?

Syarat Jual Beli

Syarat jual beli adalah ketentuan yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan akad jual beli.

Setiap rukun jual beli harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Syarat penjual dan pembeli (aqidain)

Jual beli dianggap sah apabila penjual dan pembeli memenuhi syarat sebagai berikut:

- Kedua belah pihak harus baligh, maksudnya baik penjual atau pembeli sudah dewasa.

- Keduanya berakal sehat.

Penjual dan pembeli harus berakal sehat, maka orang yang gila dan orang yang bodoh yang tidak mengetahui hitungan tidak sah melakukan akad jual beli.

- Bukan pemboros (tidak suka memubazirkan barang).

- Bukan paksaan, yakni atas kehendak sendiri.

2. Syarat barang jual beli (ma’qud alaih)

Adapun syarat barang yang diperjualbelikan sebagai berikut:

- Barang harus ada saat terjadi transaksi, jelas dan dapat dilihat atau diketahui oleh kedua belah pihak.

- Barang yang diperjualbelikan berupa harta yang bermanfaat.

- Barang itu suci.

- Milik penjual.

- Barang yang dijual dapat dikuasai oleh pembeli.

3. Alat untuk tukar menukar barang

Alat tukar menukar haruslah alat yang bernilai dan diakui secara umum penggunaannya.

Selain itu, menurut ulama fikih bahwa nilai tukar yang berlaku dimasyarakat harus memenuhi syarat sebagai berikut:

- Harga harus disepakati kedua belah pihak dan disepakati jumlahnya.

- Nilai kesepakatan itu dapat diserahkan langsung pada waktu transaksi jual beli.

- Apabila jual beli dilakukan secara barter (al-muqayyadah), bukan berupa uang tetapi berupa barang, maka tidak boleh barang yang diharamkan.

4. Ijab dan kabul

Berdasarkan poin keempat dari syarat pembeli dan penjual, serta rukun jual beli, maka jual beli secara COD hukumnya boleh dilakukan.

Hal itu juga didukung dalil hadits Rasulullah SAW: 

“Nabi SAW bersabda sesungguhnya jual beli itu sah, apabila dilakukan atas dasar suka sama suka.” HR. Ibnu Hiban dan Ibnu Majah

Buya Yahya dalam satu ceramahnya menjelaskan, secara umum, jual beli dengan cara Cash of Delivery (COD) adalah sah dalam Islam.

Asalkan barang yang diperjual belikan bukanlah emas dan perak.

"Misalnya kirim dulu madunya baru bayar, boleh. Boleh juga bayar dulu baru nanti dikirim madunya, boleh," jelasnya.

Namun demikian, Buya Yahya mengingatkan bahwa penjual dan pembeli harus siap dengan risiko-risiko yang akan terjadi.

"Kalau sudah siap dengan ini semuanya dan berjalan lancar, maka sah," jelasnya.

"Apalagi anda jujur dan semoga ketemu orang yang jujur. Kalau ternyata orang berbohong, ya sudah diniati membantu orang lain," paparnya.

"Semoga saja menjadi sedekah buat dia," lanjut Buya Yahya.

Pada kesempatan itu, Buya Yahya mengungkapkan, jika berpegang pada Mazhab Imam Syafii, yang dijaga adalah kemasalahan dari kedua belah pihak.

"Maka dalam transaksi jual beli itu, pembeli harus melihat barangnya langsung. Selagi belum melihat barangnya langsung, jual beli ini dianggap tidak sah," katanya.

Buya Yahya mengatakan, Mazhab Syafii sangat ketat dalam urusan ini agar tidak terjadi satu kerugian yaitu adanya orang yang dibohongi.

Namun demikian, dalam transaksi global seperti saat ini kita tak bisa berpegang harus pada satu mazhab.

"Akan tetapi resiko ditanggung masing-masing kalau begitu," katanya.

Dirinya menjelaskan, dalam Mazhab Imam Malik, seorang pembeli tak harus melihat barangnya.

Cukup mengetahui sifat-sifatnya.

"Seperti madu sifatnya begini, beratnya begini. Kalau begitu sudah sah dalam mazhab Imam Malik," paparnya.

"Mazhab Hanafi lebih dahsyat lagi. Nggak pakai sifat-sifatan, yang penting saya jual madu, ok saya beli. Sah," jelasnya.

"Tapi ujungnya ada khiyar. Di saat sang pembeli sudah melihat barangnya, kalau Ok dilanjutkan. Kalau tidak, dibatalin," papar Buya Yahya.

Artinya, sah-sah saja menurut dua mazhab ini.

Tapi resikonya adalah nanti jika ternyata pembeli komplain, misalnya madu tidak sesuai.

"Katanya satu liter tapi ternyata hanya 700, ini dia tidak wajib membayar tapi mengembalikan barang ke penjual," jelasnya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved