Siapa Saja yang Disebut Musafir dan Apa Arti dari Musafir ? Berikut Keringanan Ibadah Bagi Musafir
Menurut mazhab Syafi’i, safar adalah keluarnya seseorang dari tempat tinggalnya dengan maksud melakukan perjalanan minimal selama dua hari
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Pernah mendengar kata musafir ? musafir merupakan sebut orang yang sedang melaksanakan suatu perjalanan dengan jarak tertetu.
Musafir (isim maf'ul) artinya orang yang melakukan perjalanan, merupakan dari Bahasa Arab asal katanya dari Safara (fi'il madi) memiliki arti perjalanan.
Tidak semua orang yang melakukan perjalanan dapat disebut musafir, sebab ada ketentuannya tersendiri dari jaraknya dan jenis perjalanan yang ditempuh.
Menurut mazhab Syafi’i, safar adalah keluarnya seseorang dari tempat tinggalnya dengan maksud melakukan perjalanan minimal selama dua hari.
Sedangkan menurut Mazhab Hanafi perjalanan ditempuh selama tiga hari.
• Tata Cara Sholat Jamak Dzuhur dan Ashar serta Magrib Isya, Siapa Saja Yang Boleh Menjamak Sholat?
Ketentuan dan Keringanan Bagi Musafir
Jika dihitung dengan jarak bisa disebut musafir jika bepergian dalam jarak sekitar 80,6 km.
Seorang musafir memiliki keistimewaan dalam melaksanakan ibadah.
Ini terkait dengan kondisi dirinya yang sedang menempuh perjalanan jauh, sehingga Allah SWT menunjukkan kasih-Nya dengan memberi keringanan atau Rukhshhh kewajibannya dalam melaksanakan ibadah.
Seperti :
- Meringkaskan sholat.
- Menjama’ sholat.
- Menyapu khuff atau muzah (sepatu).
- Meninggalkan sholat Jumat dan menggantikannya dengan sholat zuhur.
- Berbuka puasa ketika Ramadhan.
- Sholat di atas kendaraan.
Dalam Surat Al Baqarah ayat 185 yang berbunyi:
"...Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu."
Keringanan itu dalam istilah fikih disebut dengan rukhsah, yaitu keringanan dalam beribadah yang diakibatkan oleh kondisi tertentu.
Artinya, jika seseorang merasa tak kuat untuk melanjutkan puasa, maka ia diperkenankan untuk berbuka atau tidak puasa.
Sebaliknya, jika ia mampu melanjutkan puasa meski dalam perjalanan, ia pun diperbolehkan untuk berpuasa.
• Meluruskan Niat Ibadah, Sheila Marcia Hapus Tato di Tubuhnya
Namun, apakah keringanan seorang musafir itu berluka untuk semua tanpa ada ketentuan khusus?
Dikutip dari kompas.com Guru Besar Bidang Ilmu Filsafat Pendidikan Islam IAIN Surakarta Prof Toto Suharto mengatakan, keringanan seorang musafir untuk membatalkan puasa harus memenuhi beberapa ketentuan.
Ketentuan pertama adalah berdasarkan jenis perjalanan. Menurutnya, jika perjalanan tersebut bukan untuk melakukan maksiat.
"Perjalanannya itu perjalanan yang diperbolehkan, bukan untuk maksiat, contohnya seperti niaga," kata Toto saat dihubungi Kompas.com, Minggu (3/5/2020).
Sebab, pada zaman Rasulullah SAW ketentuan jarak ini diukur berdasarkan waktu. Namun, saat ini ulama tolak ukurnya berdasarkan jarak, yaitu sekitar 80 kilometer.
"Kalau sekarang, ulama fikih khususnya menurut madzab Syafii itu menentukannya memakai jarak, yaitu sekitar 80 kilometer," jelas dia.
Artinya kalau perjalanannya di atas 80 kilometer, maka ia diperbolehkan untuk berbuka.
Ketentuan terakhir adalah perjalanannya dilakukan sebelum terbit fajar atau dari waktu malam.
"Kalau menurut madzab Syafii, sudah subuh atau pagi hari, meskipun jaraknya jauh sebaiknya tidak berbuka puasa," tuturnya.
Toto menegaskan bahwa ketentuan rukhsah tersebut bergantung pada orang yang melakukannya, apakah ia mampu dan kuat untuk menjalani puasa atau tidak.
Meski musafir mendapatkan keringanan dalam beribadah yang disebut rukhshah, namun tetap akan mendaatkan pahala seperti orang biasa.
Seperti ketika seorang musafir mengqosor shalat menjadi 2 raka’at maka tetap dicatat seperti mengerjakannya sempurna 4 raka’at.
Itulah kemudahan yang Allah berikan bagi hamba-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika seseorang sakit atau bersafar, maka dicatat baginya pahala sebagaimana ia mukim atau ketika ia sehat.” (HR. Bukhari no. 2996)
(*)