Ramadan 2021

Puasa Akan Sia-sia Jika Melakukan Rafats, Apa Itu Rafats?

Makna Rafats juga disebutkan dalam kitab Fathul Bari jilid kelima yaitu halaman 157, Ibnu Hajar mengatakan yang artinya istilah rafats digunakan dalam

TRIBUNPONTIANAK/ISTIMEWA
Pimpinan Yayasan Darul Ihsan Kota Pontianak, Ustaz Nasrulloh, Lc. 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Seyogyanya berpuasa tidaklah hanya menahan lapar dan haus, namun juga perkataan yang kurang baik.

Begitulah hal yang disampaikan Pimpinan Yayasan Darul Ihsan Kota Pontianak, Ustaz Nasrulloh, Lc.

"Hindarilah rafats, ketika saat berpuasa. Ini tercantum dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda yang artinya, puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja, tetapi puasa dengan menahan diri dari perkataan lahwun dan rafats. Apabila ada seseorang yang mencelamu, atau berbuat usil kepadamu, katakanlah kepadanya aku sedang berpuasa," katanya, Kamis 15 April 2021.

Hadits ini, kata Ustaz Nasrulloh diriwayatkan Ibnu Majah dan Imam Hakim Syekh Albani yakni dalam Al Targhib Wa Tarhib nomor 1082 dan menyatakan hadist ini adalah sahih.

Lahwun adalah perkataan yang sia-sia atau semisalnya yang tidak berfaedah.

Makna Rafats juga disebutkan dalam kitab Fathul Bari jilid kelima yaitu halaman 157, Ibnu Hajar mengatakan yang artinya istilah rafats digunakan dalam pengertian kiasan untuk hubungan badan dan semua perkataan yang keji.

Maka Imam Al Ashari mengatakan makna rafats, istilah rafats adalah istilah setiap hal yang diinginkan laki-laki pada wanita, atau dengan kata lain rafats adalah kata-kata porno, maka itulah yang membuat amalan seseorang menjadi sia-sia.

Baca juga: Berapa Jumlah Salat Tarawih Yang Diterima Allah SWT? Begini Penjelasannya

"Betapa banyak orang yang masih melakukan seperti ini begitu mudahnya mengeluarkan kata-kata kotor, dusta, sia-sia, menggunjing orang lain, dan melakukan berbagai macam maksiat, ingatlah bahwa puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga saja, namun hendaknya seseorang yang berpuasa menjauhi tindakan yang haram," tuturnya.

Lanjut kata Ustaz Nasrulloh, ada satu diantara petuah yang sangat bagus dari Ibnu Rajab Al Hambali, beliau mengatakan ketahuilah mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata'ala dengan meninggalkan berbagai syahwat yang sebenarnya mubah ketika diluar puasa seperti makan, atau hubungan badan dengan istri, tidak akan sempurna hingga seseorang mendekatkan diri dengan Allah Subhanahu Wata'ala, dengan meninggalkan perkara dusta, perbuatan dzolim, permusuhan antara manusia dalam masalah darah, harta, kehormatan.

Begitu juga, lanjutnya, Jabir bin Abdillah menyampaikan petuah, seandainya kamu berpuasa hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu, lisanmu, ikut berpuasa dari dusta, dan hal-hal yang haram, serta janganlah kamu menyakiti tetangga, bersikap tenang dan berwibawalah kamu dihari puasamu, janganlah jadikan puasamu dari hari tidak berpuasamu, sama saja.

Baca juga: Apa Itu Doa Kamilin? Bacaan Doa Kamilin Dibaca Kapan? Niat Shalat Tarawih & Witir Sendiri Berjamaah

Sejelek-jeleknya puasa menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan maksiat masih terus dilakukan. Hendaknya seseorang menahan anggota badan yang lain dari perbuatan maksiat.

Ibnu Rajab mengatakan yang artinya tingkatan puasa yang paling rendah, hanya meninggalkan makan dan minun saja.

Apakah dengan berkata dusta dan melakukan perbuatan maksiat puasa seseorang menjadi batal, untuk menjelaskan hal ini bisa, ujarnya bisa diperhatian perkataan Ibnu Rajab yaitu mendekatkan diri kepada Allah subhana wata'ala dengan meninggalkan perkara yang mubah tidaklah akan sempurna sampai seseorang menyempurnakannya dengan meninggalkan perbuatan haram.

Orang semacam ini tetap dianggap sah menurut jumhur ulama, pendapat mayoritas ulama, orang yang seperti ini tidak diperintahkan untuk mengulangi puasanya.

"Kesimpulannya, orang yang masih gemar melakukan maksiat di bulan ramadan, berkata dusta, fitnah dan bentuk maksiat lainnya yang bukan pembatal sah, puasanya tetap sah namun dia tidak mendapat pahala yang sempurna di sisi Allah subhana wata'ala," kata Ustaz Nasrulloh.

Baca juga: DOA Makan Sahur Puasa Lengkap Doa Sebelum & Sesudah Makan serta Waktu Imsak Hari Ini 2 Ramadhan 2021

Apa Itu Rafats?

Secara eksplisit, Al-Qur’an telah menjelaskan hal-hal yang tidak boleh dilakukan orang yang sedang berhaji dalam tiga hal: yakni rafats, fusuq, dan jidal.

Tiga hal ini termaktub dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 197:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

Artinya:

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berdebat di dalam masa mengerjakan haji.”

Sayangnya, dalam ayat tersebut tidak dijelaskan secara rinci apa saja perbuatan atau hal yang termasuk dalam kategori rafats, fusuq, maupun jidal.

Untuk itu, para ulama mencoba memasukkan pembahasan kategori rafats, fusuq, dan jidal dalam karya-karya mereka dengan mengutip sabda Rasulullah maupun qaul sahabat.

Abu Ja’far at-Thahawi dalam kitab Syarh Musykilul Atsar menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan rafats adalah berhubungan seks, dan hal ini merusak ibadah haji.

Berbeda dari fusuq dan jidal yang tidak sampai merusak ibadah haji.

قَوْلُ اللهِ عز وجل فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ في الْحَجِّ فَجَمَعَ اللَّهُ تَعَالَى هذه الأَشْيَاءَ في آيَةٍ وَاحِدَةٍ وَنَهَى عنها نَهْيًا وَاحِدًا وَكَانَتْ مُخْتَلِفَةً في أَحْكَامِ ما نهى عنها فيه لأَنَّ الرَّفَثَ هو الْجِمَاعُ وهو يُفْسِدُ الْحَجَّ وما سِوَى الرَّفَثِ من الْفُسُوقِ وَالْجِدَالِ لاَ يُفْسِدُ الْحَجَّ

Artinya:

“Firman Allah SWT tentang larangan haji (rafats, fusuq dan jidal), Allah mengumpulkan tiga hal tersebut dalam satu ayat dan melaranganya secara bersamaan.

Namun, dalam segi hukum, ketiganya berbeda.

Karena rafats adalah berhubungan seks dan hal itu merusak ibadah haji. Sedangkan selain rafats, yakni fusuq dan jidal tidak merusak haji.

Syekh Ahmad bin Abu Bakar bin Ismail al-Bushiri dalam karyanya berjudul Ithaf al-Khairah al-Mahrah bi Zawaid al-Masanid al-Asyrah yang merupakan salah satu kitab Zawaid dalam literatur kitab hadits, mengutip pendapat Ibnu Abbas ketika ditanya tentang rafats, fusuq, dan jidal.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ , رَضِيَ الله عَنْهُمَا , قَالَ : {فَلاَ رَفَث} ؟ قَالَ : الرَّفَثُ : الْجِمَاعُ ؟ {وَلا فُسُوقَ} ؟ قال : الْفُسُوقُ : الْمَعَاصِي ، {وَلاَ جدَالَ في الحَجِّ} ؟ قال : الْمِرَاء.

Artinya:

“Dari Ibnu Abbas Ra. berkata: rafats berarti berhubungan seks, sedangkan fusuq berarti maksiat, dan jidal berarti berbantahan.”

Dalam riwayat al-Hakim juga dijelaskan pendapat Ibnu Abbas sebagai berikut:

الرَّفَثُ : الْجِمَاعُ , وَالْفُسُوقُ : السِّبَابُ ، وَالْجِدَالُ : أَنْ تُمَارِيَ صَاحِبَك حَتَّى تُغْضِبَهُ.

Artinya:

“Rafats adalah bersetubuh atau berhubungan seks, fusuq adalah mencaci, sedangkan jidal adalah mendebat atau berbantahan dengan saudaramu sampai membuatnya marah.”

Dari penjelasan beberapa hadits di atas, maka bisa diperinci bahwa hal-hal yang termasuk kategori rafats adalah mengeluarkan perkataan tidak senonoh yang mengandung unsur kecabulan (porno), senda gurau berlebihan yang menjurus kepada timbulnya nafsu birahi (syahwat), termasuk melakukan hubungan seks (bersetubuh).

Sedangkan hal-hal yang termasuk kategori fusuq, yakni perbuatan maksiat atau mencaci adalah takabbur atau sombong, merugikan dan menyakiti orang lain dengan kata-kata maupun perbuatan, bertindak zalim terhadap orang lain seperti mengambil haknya atau merugikannya, berbuat sesuatu yang dapat menodai akidah dan keimanannya kepada Allah, merusak alam dan makhluk lainnya tanpa ada alasan yang membolehkan, juga termasuk menghasut atau memprovokasi orang lain untuk melakukan maksiat.

Adapun hal-hal yang termasuk dalam kategori jidal yang dalam arti dapat menimbulkan emosi lawan maupun orang itu sendiri adalah seperti berbantah-bantahan hanya untuk memperebutkan kamar, kamar kecil, makanan dan termasuk melakukan demonstrasi terhadap sesuatu hal yang (mungkin) tidak sesuai dengan keinginannya.

Adapun diskusi atau musyawarah tentang masalah agama dan kemaslahatan yang dilakukan dengan cara baik dan santun, maka hal itu diperbolehkan. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved