Daftar Pasal 'Bermasalah' Pemicu Kontroversi dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja
Sebelumnya, saat RUU Cipta Kerja menuai banyak sorotan dari publik. Regulasi tersebut dinilai merugikan pekerja.
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - RUU Cipta Kerja akhirnya disahkan DPR menjadi undang-undang dalam rapat paripurna yang digelar hari ini, Senin (5/10/2020).
Tercatat, hanya fraksi PKS dan Partai Demokrat yang menolak disahkannya UU Cipta Kerja.
Selain itu, semuanya menerima RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Sebelumnya, saat RUU Cipta Kerja menuai banyak sorotan dari publik. Regulasi tersebut dinilai merugikan pekerja.
Berikut sejumlah sorotan terkait Omnibus Law Cipta Kerja:
Penghapusan upah minimum
Salah satu poin yang ditolak serikat buruh adalah penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan diganti dengan upah minimum provinsi (UMP).
Penghapusan itu dinilai membuat upah pekerja lebih rendah.
• Jadwal Liga Champions Matchday 1: PSG vs MU, Juventus vs Kiev, Bayern vs ATM Siaran Langsung SCTV
Padahal, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum.
Baik UMP dan UMK, ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan bupati/wali kota.
Penetapan UMK dan UMP didasarkan atas perhitungan Kebutuhan Layak Hidup atau KLH.
Jam lembur lebih lama
Dalam draf omnibus law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu.
Ketentuan jam lembur itu lebih lama dibandingkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebut kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu.
Kontrak seumur hidup dan rentan PHK