Wabah Virus Corona

Kelesuan Ekonomi dan Intervensi Pasar di Tengah Pandemi Covid-19 

Terhentinya mobilitas orang paska penutupan pelabuhan dan bandara menyebabkan banyak industri yang terpukul.

Penulis: Zulkifli | Editor: Maudy Asri Gita Utami
TRIBUNPONTIANAK/ISTIMEWA
Dosen FEB Universitas Tanjungpura Pontianak, Dr. Wendy, M.Sc. 

News Analisis
Dosen FEB Universitas Tanjungpura, Pontianak
Dr. Wendy, M.Sc.

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Ekonomi dan keuangan dunia sedang memasuki zona merah, termasuk Indonesia.

Sebagai negara berkembang yang roda perekonomiannya banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, jelas pelemahan ekonomi global akibat pandemi corona menjadi kian terasa.

Hal ini diperparah dengan meningkatnya jumlah kasus terkonfirmasi Covid-19 di seantero nusantara.

BREAKING NEWS - Gubernur Sutarmidji Umumkan 23 Penambahan Positif Covid-19, 7 Nakes & Sebagian OTG

Pukulan berat ini kian menyiksa paska mulai diterapkannya PSBB di banyak kota.

Tentu ini bukan perkara mudah, mengingat pembatasan aktivitas ekonomi akan mematikan banyak aspek, mulai dari pendapatan, investasi, konsumsi, produksi, hingga kegiatan perdagangan luar negeri (ekspor-impor).

Terhentinya mobilitas orang paska penutupan pelabuhan dan bandara menyebabkan banyak industri yang terpukul.

Sebut saja industri perhotelan, pariwisata, transportasi, hingga rumah makan dan warung kopi yang biasa penuh sesak, kini mendadak sepi.

Kondisi ini berkonsekuensi pada pemutusan hubungan kerja.

Tak heran, angka pengangguran di negeri ini mulai merayap naik.

Tentunya ini semua merupakan sinyalemen yang perlu diwaspadai oleh para pengambil kebijakan kita.

Intervensi Pasar

Dalam literatur ekonomi, istilah ini sering digunakan untuk menjelaskan mekanisme dalam sistem ekonomi suatu negara.

Dalam konteks ini, Pemerintah secara aktif ikut memengaruhi pasar (baca: perekonomian negara) melalui sejumlah kebijakan agar pasar kembali ke arah yang diharapkan.

Intervensi pasar dapat dilakukan dengan banyak cara dan oleh banyak pihak.

Intervensi dalam bidang ekonomi bisa dilakukan melalui dua kebijakan utama, yaitu Fiskal dan Moneter.

Turunan teknis dari kedua kebijakan ini sangat kompleks, dan biasanya didukung dengan berbagai kebijakan lain yang dimotori Pemerintah Pusat, misalnya bantuan sosial dan subsidi.

Beberapa pihak yang biasanya terlibat aktif dalam intervensi pasar seperti Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), termasuk koordinasi mereka dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Pada kondisi ekonomi yang menurun, intervensi pasar wajib dilakukan pemerintah.

Ciri umum ekonomi yang menurun seperti pertumbuhan ekonomi yang melambat, inflasi yang ekstrim, nilai tukar yang semakin melemah, daya beli masyarakat menurun, pasar modal melemah, dan tingkat pengangguran yang meningkat.

Beberapa ciri tersebut sebagian telah nampak di mata kita paska pandemi corona tiga bulan terakhir ini.

Tulisan ini menelaah intervensi pasar yang dilakukan pemerintah dari sisi moneter.

Pembahasan dari sisi moneter menjadi menarik karena berhubungan dengan banyak aspek praktis yang kita rasakan sehari-hari.

Kita mungkin pernah bertanya mengapa dollar AS (USD) tiba-tiba mahal, atau mengapa bunga deposito sudah tidak pernah di atas 10% lagi sejak krisis 1998, atau mungkin juga pernah bertanya mengapa bunga kredit bank bisa naik dan turun.

Semua pertanyaan tersebut dapat dibahas melalui kacamata moneter yang dikomandoi oleh BI.

Perubahan nilai tukar dipengaruhi sisi permintaan dan penawaran terhadap mata uang tersebut.

Peningkatan permintaan terhadap mata uang asing (misal: USD) tanpa diikuti peningkatan jumlah penawarannya akan membuat kuantitas mata uang asing tersebut terbatas sehingga nilainya akan naik (berapresiasi).

Hal ini tidaklah baik jika terjadi terus-menerus mengingat mata uang domestik (rupiah) akan semakin melemah (terdepresiasi).

Di sinilah diperlukan intervensi pasar.

Sementara itu, ketika ekonomi menurun (pasar lesu), para pelaku usaha umumnya enggan berekspansi karena daya beli tidak sebanding dengan biaya modal perusahaan.

Di sini, Pemerintah juga dapat melakukan intervensi dengan memengaruhi suku bunga kredit.

Caranya, BI menurunkan suku bunga acuannya (dikenal dengan BI 7-day reverse repo rate, BI7DRR).

Penurunan BI7DRR diharapkan akan berdampak pada penurunan suku bunga kredit, sehingga menggerakkan sektor usaha.

Bunga kredit yang turun secara tidak langsung akan menurunkan biaya modal pelaku usaha.

Penurunan BI7DRR juga berdampak pada bunga deposito.

LPS sebagai pihak yang mengoordinasi bank-bank di Indonesia dalam hal penjaminan uang nasabah berhak menaikkan dan menurunkan suku bunga maksimal penjaminan.

Artinya, semua bank di Indonesia harus mengikuti kebijakan suku bunga LPS.

Maka tidak heran jika saat ini tidak ada deposito yang suku bunganya belasan persen.

Sementara itu, kebijakan LPS mengenai besaran suku bunga penjaminan juga tak lepas dari pengaruh penetapan BI7DRR.

LPS akan melakukan evaluasi yang ketat dan memelajari kondisi ekonomi dan prediksinya dalam rentang waktu tertentu untuk memformulasi kebijakannya tersebut.

Operasi Moneter

Selama empat bulan terakhir, Pemerintah telah berupaya meredam gejolak ekonomi melalui sejumlah operasi moneter.

BI7DRR yang saat ini berada pada angka 4,5% merupakan pelonggaran moneter yang telah dilakukan berulang kali oleh BI sejak pertengahan tahun 2019 (yang masih di angka 5,75%).

Selain itu, BI juga berusaha meningkatkan likuiditas perbankan dengan menurunkan giro wajib minimum (GWM).

Berdasar data BI tanggal 6 Mei 2020, penurunan GWM selama Januari-April 2020 setara dengan Rp53 triliun, sementara pada bulan Mei 2020 tercatat sebesar Rp102 triliun.

Injeksi likuiditas juga dilakukan BI dengan membeli surat berharga negara (SBN) dalam bentuk surat utang negara dan surat berharga syariah negara di pasar sekunder dari investor asing.

Jika di total, kebijakan ini setidaknya telah menghabiskan dana sebesar Rp166,2 triliun selama periode Januari-April 2020.

Selain itu, selama bulan Mei 2020, BI juga tidak mewajibkan tambahan giro untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM).

Jika dinominalkan, kebijkan RIM tersebut ekuivalen dengan Rp15,8 triliun. Sebuah injeksi likuiditas yang sangat besar.

Lebih lanjut, intervensi moneter lain juga dilakukan melalui kebijakan relaksasi DNDF (Domestic Non-deliverable Forward), sebuah instrumen lindung nilai (hedging) yang penyelesaian transaksi forward-nya dilakukan dalam rupiah dengan tujuan mendorong pendalaman pasar hedging valas domestik dan menjaga stabilitas kurs rupiah.

Sementara itu, penjualan valas di pasar spot juga dilakukan dalam operasi moneter Pemerintah untuk menahan penurunan nilai rupiah.

Upaya-upaya di atas merupakan sebagian dari berbagai kegiatan operasi moneter yang telah dilakukan Pemerintah.

Tujuannya memastikan ketersediaan likuiditas di pasar dan menjaga stabilitas keuangan.

Pertumbuhan ekonomi tahun 2020 yang dipastikan akan jauh dibawa pertumbuhan 2019 menjadi perhatian penting Pemerintah dalam merevisi kebijakan-kebijakan moneternya.

Pelonggaran dari berbagai sisi moneter terus diupayakan untuk mendorong pertumbuhan dan memitigasi risiko keuangan yang lebih besar akibat pandemi corona.

Kita berharap upaya-upaya tersebut akan segera membuahkan hasil dan menciptakan stabilitas moneter yang lebih kentara di tengah. (*)

Update Informasi Kamu Via Launcher Tribun Pontianak Berikut:
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.wTribunPontianak_10091838

Update berita pilihan
tribunpontianak.co.id di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribunpontianak

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved