Kisah Ibu Hamil di Sintang Naik Perahu Lima Jam Lewati Sungai Demi Melahirkan di Puskesmas

Di sana (desa tempat tinggal Semit) blom ada petugas kesehatan, jadi mereka harus ke Puskemas Kemangai. Ibu hamil takut

Penulis: Agus Pujianto | Editor: Nasaruddin
ISTIMEWA
Veronika Tuti memeriksa kandungan Semit. Ibu hamil itu tidak sengaja ditemukan Tuti saat istirahat di tepian Sungai Gilang di atas perahu. 

Ibu Semit, namanya. Dia warga Desa Korong Daso, Kecamatan Ambalau, Kabupaten Sintang.

Perahu yang ditumpangi Semit, sedang bersandar di tepian Sungai Gilang ketika rombongan Puskemas Nanga Kemangai dan Dinkes Sintang berpapasan.

Spead bermesin 15 hp yang ditumpangi rombongan Puskemas yang hendak melalukan verifikasi Desa ODF, memutuskan berhenti tak kala melihat ada perempuan hamil besar terbaring di atas perahu. Dia lah ibu Semit.

"Di jalan kami ketemu sampan yang membawa ibu hamil yang hendak melahirkan dari Desa Korong Daso," kata Veronika Tuti kepada Tribun Pontianak.

Tuti, merupakan bidan yang mengabdikan diri di wilayah pedalaman Sintang. Hampir semua desa di hulu sungai Ambalau, sudah dikunjungi.

Jika tidak ada jadual kunjungan, Tuti standby di Puskemas Nanga Kemangai.

Upah di Ketapang Tertinggi Se-Kalbar, Pemkab Tunggu Pengesahan Gubernur, Berlaku 1 Januari 2020

Naluri Tuti sebagai seorang bidan bangkit. Dia bergerak mendekati ibu Semit yang terbaring di geladak perahu berbantalkan terpal yang digunakan untuk menutup segala pakaian dan barang bawaan.

Dengan sigap, telapak tangan Tuti memeriksa perut buncit Semit. Tampak seorang warga membantu Tuti dengan memayungi Semit agar tidak kepanasan.

Semit, terlihat meringis ketika perutnya disentuh tangan Tuti.

"Hamil anak pertama. Saya hanya memastikan udah mau melahirkan atau belum," cerita Tuti.

Setelah kondisi ibu Semit dan bayinya dipastikan baik baik saja.

Tuti dan rombongan pamit melanjutkan perjalanan menuju Desa Kolangan Juoi.

"Kondisi ibu dan bayi baik saja. Karena hamil pertama, proses penurunan kepala bayi mungkin dirasa agak sakit. Karena masih lama jadi mereka lanjut ke Puskemas dan menunggu di rumah tunggu kelahiran," ungkap Tuti.

Veronika Tuti bertemu dengan ibu hamil di pinggir sungai pada 28 Oktober 2019 lalu.

Semit dan rombongan selamat sampai tujuan akhir di kota Kecamatan Ambalau.

Yang pertama kali dituju, adalah Rumah Tunggu Kelahiran (RTK).

Meski sudah merasakan sakit perut pada tanggal 28 Oktober lalu, hingga pagi ini 7 November 2019, bayi dalam kandungan Semit belum juga lahir.

"Belum lahir. Masih menunggu di RTK," kata Tuti.

Demi Selamatkan Orangtua, Presenter Cantik Tewas dalam Musibah Kebakaran Rumahnya

Jarak dari rumah Semit ke Rumah Tunggu Kelahiran di pusat kecamatan cukup jauh.

Desa Korong Daso letaknya berdekatan dengan Desa Kolangan Juoi, dan Desa Luting Mingan.

"Desa itu satu jalur dan berdekatan yang jarak tempuhny sekitar 5 jam dengan speed 15 hp dari Puskemas Kemangai," kata Tuti memperkirakan jarak tempuh dari rumah Semit ke Rumah Tunggu Kelahiran.

Medan sungai yang dilalui juga cukup ekstrem. Lebar sungai menyempit di hulu sungai. Tidak selebar dan setenang permukaan Sungai Kapuas.

Belum semua desa yang ada di Kecamatan terluas di Kabupaten Sintang ini tersambung jalan darat. 
Sungai menjadi moda transportasi utama.

"Sungai Gilang, alur sungainya dangkal ndak ada riam (kalau air surut) karena jalurnya banyak batu, jadi ndak bisa laju speadnya. Tapi kalau air pasang, riamnya besar. Banyak perahu yang karam," ungkap Tuti menggambarkan ganasnya anak sungai di hulu Ambalau.

Medan berat itu lah yang harus ditempuh oleh ibu hamil seperti Semit jika ingin melahirkan di Puskesmas.

Meski harus bertaruh nyawa, Semit tetap memilih untuk turun ke kota kecamatan, menunggu taksiran persalinan di RTK.

"Di sana (desa tempat tinggal Semit) blom ada petugas kesehatan, jadi mereka harus ke Puskemas Kemangai. Ibu hamil takut melahirkan di kampung, makanya mereka cepat turun ke kota kecamatan," cerita Tuti.

Pahala Bidan di Pedalaman Sangat Besar

Bupati Sintang, Jarot Winarno menyebut peran Bidan sangat penting sejak dulu, hingga sekarang.

Peran tenaga kesehatan ini, sangat sentral untuk melindungi kesehatan ibu dan bayi.

 “Apalagi, data saat ini, kalau ada 1.000 ibu melahirkan maka 4 diantaranya meninggal,” kata Jarot Winarno saat dihadapan ratusan anggota Ikatan Bidan Indonesia yang berkumpul dalam Peringatan Hari Ulang Tahun  IBI Ke 68.

Jarot mengatakan, pahala bidan sangat besar di pedalaman, mengabdikan diri dengan fasilitas seadanya dan medan yang ekstrem.

“Pahala bidan sangat besar di pedalaman. Tahun ini, formasi CPNS dibuka lagi, ada 39 tenaga bidan. Tetapi penempatan jauh. Kalian harus berani ambil meskipun jauh,” jelasnya.

 Menurut Jarot, belum semua masyarakat menggunakan jasa bidan untuk bersalin. Persentasenya, 80 persen.

“80 persen sudah ditangani bidan, sisanya masih ke dukun beranak atau profesi diluar bidan. Dan 80 persen masyarakat sudah menggunakan fasilitas kesehatan dan menggunakan jasa bidan ini,” ungkapnya

 Ada tiga tantangan yang harus dihadapi oleh tenaga Bidan, yakni tingginya angka kematian ibu, rendahnya toleransi tehadap HIV AIDS, dan Stunting.

“Dari 1.000 anak balita, maka 310 di antaranya tinggi badannya tidak sesuai umur atau stunting. Saat ini di Sintang masih ditemukan 31 persen angka stunting. Maka kita terus pacu program untuk menurunkan  angka stunting ini,” harap Jarot. 

Suka dan Duka

Ada banyak suka dan duka yang dirasakan para tenaga kesehatan yang bertugas di pedalaman Kabupaten Sintang, tepatnya di Kecamatan Ambalau.

Kecamatan yang terletak di hulu sungai Ambalau ini, sangat jauh jaraknya dari Kota Sintang.

Tidak heran bila akses menuju ke pelayanan kesehatan jauh lebih mahal daripada ongkos berobat. 

 Kurangnya sarana transportasi, komunikasi, serta ketergantungan transportasi sungai menjadikan biaya operasional menjadi sangat mahal.

Namun, bagi yang sudah menahun menetap di pedalaman seperti Adrianus Kusmiran, keterbatasan itu bukan sebuah hambatan.

Justru, dia mengaku tidak ingin pindah ke kota.

 “Di kota tenaga kesehatan banyak. Di pedalaman, saya merasa benar-benar mengabdi, dan dibutuhkan oleh masyarakat,” kata Adrianus.

Adrianus sudah lama mengabdikan diri di Kecamatan Ambalau bersama Veronika Ulon, istrinya sejak tahun 1996 silam.

Saat ini, Adrianus menjabat sebagai kepala UPTD Puskemas Nanga Kemagai.

Tidak ada fasilitas mewah. Keduanya tinggal di lanting bibir sungai Ambalau.

Diamanahi sebagai Kepala Puskemas Kemangai, Adrianus punya beban dan tanggungjawab moral kepada masyarakat yang tinggal di 33 desa yang ada di Kecamatan Ambalau.

Apalagi, setiap desa belum ada fasilitas.

Jangankan Faskes, tenaga kesehatan saja belum sepenunya merata.

Pelayanan kesehatan di pedalaman, tidak bisa disamakan dengan di kota.

Mekanisme juga tidak bisa menempatkan satu tenaga kesehatan yang harus tetap berada di Puskemas menunggu pasien datang.

Puskemas Keliling (Pusling) yang diterapkan untuk mendekatkan pelayanan kesehatan ke masyarakat.

Warga yang tinggal jauh dari jangkauan Puskemas tak perlu lagi mencari petugas kesehatan kecuali mendesak, tapi sebaliknya tenaga kesehatan yang akan mendatangi mereka.

Pusling dilaksanakan tiap bulan ke tempat yang tidak ada petugasnya.

Monitoring dan evaluasi tiap tiga bulan sekali.

Jadwal Pusling disesuaikan dengan kalender musim berladang.

“Kalau tidak disesuaikan, nanti yang berobat sedikit. Masyarakat pada tinggal di ladang,” kata Adrianus.

Untuk menjangkau dari desa satu ke desa lain di Kecamatan Ambalau, sungai menjadi transportasi utama—ditambah jalan kaki.

Karena, belum ada jalan pengubung yang bisa dilalui.

Sehingga, kendaraan bermotor sangat sulit dijumpai. Meski ada, itu bisa dihitung jari.

Kecuali di kota kecamatan Ambalau.

Bagi tenaga kesehatan yang bertugas di daerah ini, mereka juga harus piawai mengendalikan Longboat untuk bisa mengunjungi pasien yang memerlukan bantuan medis.

Ada banyak riam yang harus ditaklukkan.

Akan tetapi, jika air sungai surut, tenaga medis lebih memilih cari aman, misalnya, dengan membawa seorang motoris handal yang hafal medan.

Kehadiran tenaga kesehatan sangat dibutuhkan oleh masyarakat di pedalaman Kecamatan Ambalau.

Selama ini, masyarakat yang ingin berobat harus mengeluarkan biaya juga tenaga.

“Warga biasa jalan kaki  4 jam malam-malam ambil obat. Dari dusun Posuk ke Menantak,” kata Veronika Tuti, Bidan yang bertugas di UPTD Puskesmai Kemangai, Kecamatan Ambalau.

Sebelum bertugas di Puskemas, Tuti pernah mencicipi “kesengsaraan” bertugas di Desa Menantak selama dua tahun.

Di hulu desa ini, ada satu desa terakhir, namanya Desa Deme.

 Tribun Pontianak pada awal Maret 2019 lalu berkesempatan berkunjung ke desa tersebut.

Perjalanan ditempuh selama tiga hari dari Sintang.

Bisa dibilang, setiap bulan Tuti rutin berkunjung ke beberapa desa yang masuk dalam binaan tenaga kesehatan yang dipusatkan di Desa Menantak.

Stok obat-obatan juga dipusatkan di Menantak.

Ketiadaan jaringan telekomunikasi juga menyulitkan komunikasi antara tenaga kesehatan dan masyarakat.

Setiap ada layanan Posyandu, warga dan Tuti harus membuat janji terlebih dahulu  untuk dijemput.

Kalau warga butuh obat, biasa berkirim surat.

“Posyandu setiap bulan. Mereka yang jemput petugas. Asal kita menepati kesepakatan tanggalnya,” kata Tuti.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved