Barisan Pemuda Adat Nusantara Sebut Peladang bukan Pelaku Karhutla
Hingga pada akhirnya harapan kita terciptalah aturan yang tegas terhadap lahan Koorporasi yang terbakar
Penulis: Ridhoino Kristo Sebastianus Melano | Editor: Jamadin
Barisan Pemuda Adat Nusantara Sebut Peladang bukan Pelaku Karhutla
SINGKAWANG - Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) menjadi masalah serius tahunan bagi beberapa daerah di Indonesia seperti Kalimantan, Sumatera, Aceh dan Riau. Karena akibatnya dapat merenggut nyawa manusia yang berdampak ISPA dimana kualitas asap dan debu telah mencapai kadar buruk dan bahaya.
Paulus Ade Sukma Yadi, Koordinator Dewan Pemuda Adat Nusantara (DePAN) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Region Kalimantan, Paulus Ade Sukma Yadi meminta pemerintah untuk tetap netral dalam menangani Karhutla.
"Karena beberapa tahun terakhir ini selalu korban yang di kriminalisasi oleh Pemerintah adalah Peladang seolah-olah mereka membuka lahan dengan cara membakar adalah pelaku Karhutla," kata
Paulus Ade Sukma Yadi, Jumat (16/8/2019).
Paulus Ade Sukma Yadi menuturkan hal ini terjadi dari tahun ke tahun. Peladang saat ini selalu dihantui dengan denda dan jeruji besi.
Dimana mereka sebenarnya adalah masyarakat adat yang telah turun temurun berladang dengan pola kearifan lokal yaitu pola berladang gilir balik. "Tujuan ini hanya untuk mencari sesuap nasi," tegasnya.
Ade menjelaskan seluruh pihak harus memahami embuka lahan dengan cara membakar masyarakat adat tentunya memiliki dasar dan dilindungi oleh UU yang berlaku di Indonesia dimana tertuang pada UU No 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam pasal 69 ayat 2 menyebutkan kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimal 2 Ha per Kepala Keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegahan penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
"Ayat 2 Kearifan Lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis variates lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya," beber
Paulus Ade Sukma Yadi,.
Atas dasar Hukum yang berlaku di Indonesia Ade menegaskan pelaku Karhutla bukanlah Masyarakat Adat yang berladang.
Atas dasar UU di atas jika peladang masih dikenakan sangsi dan dikriminalisasi maka pemerintah dianggap telah melanggar hak asasi manusia (HAM) dalam melaksanakan keadilan kepada masyarakat.
Ade mengatakan jika kita berfikir secara adil dan rasional sebetulnya seluruh pihak harus memahami adanya Kabut asap akibat Karhutla sejak kapan. Apakah benar yang menyebabkan karhutla adalah petani atau koorporasi.
Baca: Istri Ahok Puput Nastiti Sudah Hamil 4 Bulan Lebih, Jenis Kelamin Bayi di Dalam Perutnya Terbongkar
Baca: Sedang Berlangsung LIVE Indosiar Semen Padang Vs PSIS Semarang, Cek LIVE Score Hasil Shoppe Liga 1
"Untuk menjawab pertanyaan di atas kita semua perlu paham akan pola kearifan lokal dan pola koorporasI yang hanya menggerus hasil bumi di Indonesia," tutur Ade.
Ia menilai maraknya perusahaan tambang telah banyak mengorbankan masyarakat akar rumput.
Seperti masyarakat kecil yang kurang memahami akan hukum yang berlaku di negeri ini.
Sama halnya dengan izin perusahaan sawit yang masih banyak tumpang tindih izin perusahaan.
"Karhutla sendiri maraknya semenjak perusahaan sawit, masuk ke Kalimantan, dapat dilihat di Kalteng dan Kalbar," ucapnya.
Untuk tambang sendiri di Kaltim dan Kalbar. Dimana sangat banyak konflik perusahaan dan masyarakat adat.
Korbannya selalu dimenangkan oleh perusahaan jika pun sedikit dimenangkan oleh masyarakat adat itu atas bantuan NGO dan LSM yang pro terhadap masyarakat serta membela atas dasar kerja sosial.
"Kita sebut saja misalnya pendampingan hukum oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), LBBT, SAMPAN, WALHI, JARI dan JATAM serta lembaga yang aktif akan kepedulian terhadap lingkungan hidup," paparnya.
Ade pun mengatakan pemerintah seharusnya membuka diri dengan lembaga-lembaga yang konsen di masyarakat tentunya berkaitan dengan lingkuingan hidup.
Mengatasi masalah karhutla perlu bergandeng tangan supaya tak ada yang dijadikan kambing hitam.
Kerja sama ini dapat meliputi pemerintah, instansi-instansi terkait, perusahaan dan lembaga-lembaga yang kiblatnya paham akan lingkungan hidup.
BPAN Kalbar sangat mengapresiasi Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji yang telah berinisiatif serius menanggapi permasalahan karhutla.
Dimana Gubernur akan memanggil 94 perusahaan terkait Karhutla. Ada 56 perkebunan dan 38 hutan tanam industri.
Kemudian perkuat dengan niat Gubernur akan membuat Perbup untuk menginisiasi adanya proses dan aturan yang menindaklanjuti perusahaan yang lahannya konsesinya terbakar.
Adanya komitmen dilintas instansi terkait karhutla, mendorong adanya sosisalisasi hingga adanya integritas semua sektor mulai dari kehutanan, pertanian mau pun BNPB dan lainnya.
"Hingga pada akhirnya harapan kita terciptalah aturan yang tegas terhadap lahan Koorporasi yang terbakar," ucap Ade.