Ramadhan

Manfaat Puasa Menurut Ilmuwan dan Hadist Nabi & Kapan Tidak Diwajibkan Berpuasa?

Bentuk lain, yang dikenal sebagai puasa 5: 2, mendukung pembatasan kalori (makan hanya antara 500 dan 600 kalori) selama 36 jam, dua kali seminggu.

Penulis: Dhita Mutiasari | Editor: Dhita Mutiasari
AFP
Ilustrasi Puasa 

Manfaat Puasa Menurut Ilmuwan dan Hadist Nabi & Kapan Tidak Diwajibkan Berpuasa?

Bulan puasa Ramadhan 2019, momen yang ditunggu umat muslim untuk optimal beribadah dan meraih sebanyak-banyaknya pahala.

Ramadhan, yang dimulai pada 6 Mei di sebagian besar negara tahun ini, adalah bulan paling suci dalam kalender Islam.

Sejarah puasa Ramadan bagi umat Islam memiliki makna yang sangat mendalam terutama untuk mempercayai adanya kewajiban berpuasa di bulan Ramadan dan beribadah kepada Allah SWT.

Saum atau puasa bagi orang Islam (bahasa Arab: صوم, transliterasi: shaum) adalah menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari, dengan syarat tertentu, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim.

Puasa pada bulan Ramadan merupakan kewajiban bagi seorang Muslim.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS Al Baqarah ayat183)

Baca: Hari Pertama Puasa, Sutarmidji Minta ASN Tetap Berikan Layanan Prima Pada Masyarakat

Baca: Makna Puasa Ramadan Menurut Mahfud MD! Kendalikan Hawa Nafsu Agar Tak Sekedar Formalitas

Baca: LENGKAP! Jadwal Imsak, Salat & Buka Puasa Ramadan 1440 H di Kota Pontianak Selama 30 Hari

Ini melibatkan berpantang dari makan, minum, merokok dan hubungan seksual dari fajar hingga matahari terbenam, dengan harapan hal itu akan mengarah pada "taqwa" yang lebih besar, atau kesadaran akan Tuhan.

Muslim diperintahkan untuk berpuasa selama Ramadhan lebih dari 1.400 tahun yang lalu, orang-orang Yunani kuno merekomendasikan puasa untuk menyembuhkan tubuh.

Bahkan belakangan ini beberapa ilmuwan menganjurkan puasa yang dimodifikasi untuk manfaat mental dan fisiknya.

Dikenal sebagai puasa intermiten, puasa yang dimodifikasi ini datang dalam beberapa bentuk yang tidak memerlukan makan selama 12, 16, atau 24 jam pada suatu waktu.

Bentuk lain, yang dikenal sebagai puasa 5: 2, mendukung pembatasan kalori (makan hanya antara 500 dan 600 kalori) selama 36 jam, dua kali seminggu.

Dilansir dari laman Aljazeera , Eat Stop Eat, sebuah buku karya Brad Pilon yang diterbitkan pada tahun 2007, merekomendasikan untuk tidak makan selama 24 jam sekali atau dua kali seminggu, memberikan individu kebebasan untuk memutuskan kapan memulai dan mengakhiri puasa mereka.

Pada 2012, Michael Mosley merilis film dokumenter TV Eat, Fast dan Live Longer dan menerbitkan buku terlarisnya The Fast Diet, keduanya berdasarkan pada konsep 5: 2 puasa intermiten.

"Dalam The Fast Diet, saya menganjurkan bentuk puasa yang disebut 'makan terbatas waktu'," kata Mosley

"Ini hanya melibatkan makan dalam jam-jam tertentu, mirip dengan bentuk puasa yang dilakukan oleh umat Islam selama Ramadhan.

"Manfaat yang terbukti termasuk peningkatan tidur dan bukti penurunan risiko beberapa kanker, khususnya, kanker payudara."ujarnya

Manfaat Puasa Menurut Ilmuwan

Para ahli juga menemukan bahwa membatasi asupan makanan di siang hari dapat membantu mencegah masalah kesehatan seperti kolesterol tinggi, penyakit jantung dan obesitas, serta meningkatkan kesehatan mental dan kesejahteraan.

Dengan tidak mengonsumsi makanan apa pun, tubuh kita dapat berkonsentrasi untuk membuang racun, karena kita memberi istirahat pada sistem pencernaan.

"Puasa memungkinkan usus untuk membersihkan dan memperkuat lapisannya. Ini juga dapat merangsang proses yang disebut autophagy, yang mana sel membersihkan diri dan menghilangkan partikel yang rusak dan berbahaya,"ujar Ahli gizi Claire Mahy 

Para ilmuwan juga telah mempelajari hubungan antara diet, kesehatan usus dan kesejahteraan mental dan, seperti yang dijelaskan Mosley, puasa dapat menyebabkan pelepasan BDNF (faktor neurotropik yang diturunkan dari otak) di otak.

"Ini telah terbukti melindungi sel-sel otak dan dapat mengurangi depresi dan kecemasan, serta risiko mengembangkan demensia," tambah Mosley.

Banyak orang yang telah berpuasa juga menemukan bahwa, dilakukan dengan benar, itu membantu mereka kehilangan lemak dan menambah massa otot.

Kapan tidak berpuasa?

Seperti halnya perubahan pola makan atau gaya hidup, ada risiko puasa karena tidak cocok untuk semua orang.

Individu dengan gangguan kesehatan atau mereka yang diikuti oleh dokter untuk kondisi kesehatan apa pun harus berkonsultasi dengan dokter sebelum mencobanya agar dapat dipantau untuk beberapa efek samping.

"Puasa dapat menyebabkan kadar glukosa darah (BGL) rendah, yang menyebabkan berkurangnya konsentrasi dan meningkatnya kelelahan," jelas ahli gizi terdaftar Nazmin Islam.

Islam menambahkan bahwa penurunan berat badan yang berkelanjutan hanya dimungkinkan dengan puasa biasa dan bahwa penurunan berat badan selama Ramadhan dapat dengan mudah dibalik begitu seseorang kembali ke pola makan hariannya.

"Namun, manfaatnya lebih besar daripada yang kontra. Dalam jangka panjang, puasa, jika dilakukan dengan benar, dapat meningkatkan sistem pencernaan seseorang dan metabolisme secara keseluruhan,"ujarnya. 

Manfaat Puasa Menurut Hadits Nabi

Setiap perintah dan larangan Tuhan tidak ada yang sia-sia.

Seluruhnya memiliki hikmah dan kemaslahatan.

Kemaslahatan ini tidak hanya dirasakan di dunia, tetapi juga dirasakan kelak di akhirat.

Demikian pula ibadah puasa, ada banyak hikmah dan manfaat mengerjakannya.

Dilansir dari Nu.or.id, hikmah puasa itu tidak hanya didapat dari penjelasan Rasulullah SAW, tetapi juga dari pengalaman orang yang mengerjakannya.

Izzuddin bin Abdis Salam dalam kitab Maqashidus Shaum mengumpulkan banyak riwayat terkait manfaat dan hikmah ibadah puasa.

Dari sekian banyak riwayat tersebut, ia menyimpulkan ada delapan manfaat puasa yang perlu kita perhatikan.

Menurut Izzuddin bin Abdis Salam dalam kitab Maqashidus Shaum:

للصوم فوائد: رفع الدرجات، وتكفير الخطيئات، وكسر الشهوات، وتكثير الصدقات، وتوفير الطاعات، وشكر عالم الخفيات، والانزجار عن خواطر المعاصي والمخالفات

Artinya, “Puasa memiliki beberapa faidah: meningkatkan kualitas (iman), menghapus kesalahan, mengendalikan syahwat, memperbanyak sedekah, menyempurnakan ketaatan, meningkatkan rasa syukur, dan mencegah diri dari perbuatan maksiat.”

Dengan demikian, manfaat puasa menurut ulama ini ada tujuh, yaitu meningkatkan kualitas (iman), menghapus kesalahan, mengendalikan syahwat, memperbanyak sedekah, menyempurnakan ketaatan, meningkatkan rasa syukur, dan mencegah diri perbuatan maksiat

Izzuddin bin Abdis Salam menyarikan manfaat puasa itu bersumber dari Hadist Rasulullah Muhammad SAW.

Manfaat puasa menurut Nabi Muhammad SAW bisa dirinci lagi sebagai berikut.

Bulan Ramadhan merupakan wadah untuk memperbaiki kualitas keimanan dan ketakwaan.

Manfaat Puasa Menurut Ilmuwan dan 

Pada bulan ini dibuka pintu ampunan dan kebaikan seluas-luasnya.

Dalam hadis, Rasulullah mengatakan, “Bila bulan Ramadhan telah datang, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan dibelenggu,” (HR Bukhari).

Selain ajang peningkatan iman dan takwa, puasa juga dapat menghapus dosa manusia.

Rasulullah SAW berkata, “Siapa yang puasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka dosanya diampuni,” (HR Bukhari).

Puasa juga dapat difungsikan sebagai latihan mengendalikan syahwat, sebab syahwat sangat mudah dikendalikan dalam kondisi lapar.

Pada saat lapar, pikiran manusia hanya tertuju pada makan dan minum.

Dalam situasi seperti ini, hasrat untuk melakukan aktivitas lain atau maksiat dapat diminimalisasi.

Dalam kondisi lapar juga, manusia biasanya ingat dan sadar begitu berharganya nikmat Tuhan, walaupun sekilas terlihat sedikit.

Melalui ibadah puasa, manusia bisa merasakan kelaparan dan rasa haus yang dirasakan oleh orang-orang miskin.

Sehingga dengan perasaan tersebut mereka terdorong untuk memperbanyak sedekah.

Semoga kita dapat merasakan dan mewujudkan beberapa hikmah puasa yang disebutkan di atas, supaya puasa yang kita lakukan tidak hanya sekedar menahan haus dan lapar, tetapi juga bisa meraih hikmah dan merasakan tujuan puasa itu sendiri. 

Golongan Orang Boleh Tak Berpuasa Ramadan

Kendati merupakan kewajiban sebagaimana firman Allah, namun rukun Islam ketiga ini juga ternyata mendapatkan pengecualian bagi orang tertentu. Ada juga orang yang boleh tak berpuasa Ramadan.

Siapa saja masuk dalam golongan itu?

Berikut disalin dari Buletin.muslim.or.id.

1.  Orang sakit

Yang dimaksudkan sakit adalah seseorang memiliki penyakit yang membuatnya tidak lagi dikatakan sehat.

Para ulama telah sepakat mengenai bolehnya orang sakit untuk tidak berpuasa secara umum.

Nanti ketika sembuh, dia mengqadhanya (menggantinya di hari lain).

Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah SWT yang terjemahannya, “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS Al Baqarah ayat 185)

Untuk orang sakit ada tiga kondisi.

Kondisi pertama adalah apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap berpuasa.

Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan, dan perut keroncongan.

Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk berpuasa.

Kondisi kedua adalah apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan.

Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.

Kondisi ketiga adalah apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada kematian.

Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT yang terjemahannya, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS An Nisa’ ayat 29)

2. Orang yang bersafar

Musafir yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk mengqashar alat disyari’atkan untuk tidak berpuasa.

Dalil dari hal ini adalah firman Allah SWT yang terjmahannya, “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS Al Baqarah ayat 185)

Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu sah.

Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak?

Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat.

Setelah meneliti lebih jauh dan menggabungkan berbagai macam dalil, dapat dikatakan bahwa musafir ada tiga kondisi.

Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.

Jabir mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, 'Siapa ini?' Orang-orang pun mengatakan, 'Ini adalah orang yang sedang berpuasa.' Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Bukanlah suatu yang baik seseorang berpuasa ketika dia bersafar'.” (HR Bukhari nomor 1946 dan Muslim nomor 1115).

Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.

Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa.

Dari Abu Darda’, beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.” (HR Bukhari nomor 1945 dan Muslim nomor 1122).

Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban.

Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqadha' puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.

Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Mekkah pada bulan Ramadan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-orang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, 'Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka'.” (HR. Muslim nomor 1114).

Nabi mencela keras seperti ini karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela.

3. Orang yang tua dan dalam keadaan lemah

Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qadha bagi mereka.

Dan menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.

Pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT yang terjemahannya, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS Al Baqarah ayat 184)

Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, maka dia disamakan dengan orang tua yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah (memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan).

4. Wanita hamil dan wanita menyusui

Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Hal ini disepakati oleh para ulama.

Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jallamenghilangkan pada musafir separuh salat. Allah pun menghilangkan puasa pada musafir, wanita hamil dan wanita menyusui.” (HR Ahmad)

Namun apakah mereka memiliki kewajiban qadha‘ ataukah fidyah?

Dalam masalah ini ada lima pendapat.

Pendapat yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa cukup dengan fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqadha’.

Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta dan mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qadha’ bagi mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan menggunakan ayat (yang terjemahannya) 'Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu'. Namun hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” (Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18)

Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar.

Dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat keduanya.

Juga dapat kita katakan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang membicarakan surat Al Baqarah ayat 185 dihukumi marfu’ (sebagai sabda Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam).

Alasannya, karena ini adalah perkataan sahabat tentang tafsir yang berkaitan dengan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185).

Maka hadits ini dihukumi sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah dikenal dalam ilmu mustholah.  Wallahu a’lam.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved