Rika: Sikap Khawatir Berlebihan Orangtua untuk Anak Picu Stres Buah Hati
Hal tersebut sama saja menekankan kepada anak tentang "akhir" atau "hasil" tanpa kita melibatkan "proses".
Penulis: Maudy Asri Gita Utami | Editor: Jamadin
Rika: Sikap Khawatir Berlebihan Orangtua untuk Anak Picu Stres Buah Hati
PONTIANAK- Memasuki musim ujian di tahun ini, banyak orang tua yang khawatir akan masa depan anaknya yang tidak serius dalam belajar.
Kekhawatiran itu menjadi momok dan alasan bagi orang tua dalam memarahi sang anak untuk terus belajar dan tidak boleh bermain.
Namun orang tua juga harus mengerti, bagaimana sikap yang bisa diambil untuk menghilangkan rasa khawatir tersebut.
Baca: Empat Dari Sembilan Kecamatan Selesai Rekapitulasi, Lima Kecamatan Segera Rampung
Baca: KPU Sanggau Ucapkan Terima Kasih Atas Fasilitasi Pemeriksaan Kesehatan PPK, PPS dan KPPS
Kira-kira apa yang dapat dilakukan orangtua, yuk simak saran dari Psikolog Rika Indarti dalam rubrik konsultasi psikologi berikut ini.
Pertanyaan
Saat ini lagi musim ujian sekolah. Saya sangat khawatir dengan Milan dan prestasi anak saya. Bagiamana cara menyikapi rasa khawatir yang berlebihan pada anaknya yang menghadapi ujian sekolah.
Dikarenakan takut tidak lulus dan saya sebagai orang tua akan marah jika melihat anak saya yang tidak belajar atau malah sibuk sendiri.
Riezky (42), Kelurahan Pal 3
Jawaban
Saat musim ujian sekolah, rata-rata orang tua menjadi khawatir dan cemas tentang bagaimana nilai akhir anak nanti.
Kekhawatiran tersebut membuat orang tua secara sadar/tidak sadar melakukan penekanan kepada anak untuk lebih giat belajar, lebih fokus belajar, supaya nilai akhirnya menjadi baik sesuai yang diharapkan oleh orangtua.
Hal tersebut sebenarnya wajar saja terjadi, namun akan menjadi menjadi tidak efektif bila dilakukan dengan cara-cara berlebihan.
Bukannya membuat anak menjadi termotivasi sebaliknya malah dapat membuat anak menjadi stress. Sebelumnya perlu diingat bahwa motivasi atau dorongan kepada anak tidak hanya dilakukan pada menjelang ujian.
Hal tersebut sama saja menekankan kepada anak tentang "akhir" atau "hasil" tanpa kita melibatkan "proses".
Dengan pola demikian, anak mengabaikan proses yang harus dilalui, dan hanya terfokus pada "hasil", sehingga bisa saja untuk mendapatkan hasil yang sesuai harapan orang tua anak mencontek, yang penting nilai bagus.
Selain itu bila nilai yang diperoleh tidak sesuai yang diharapkan maka anak menjadi lebih tertekan.
Oleh karena itu, sebaiknya motivasi atau dorongan atau "cara mengingatkan" anak untuk belajar sebaiknya dilakukan pada setiap saat (tidak hanya pada saat ujian saja). Fokuskan pada "proses belajar"nya.
Dan ketika persiapan sudah dilakukan jauh-jauh hari maka kemungkinan untuk mendapatkan nilai yang baik akan lebih besar.
Selanjutnya bila anak sudah berusaha namun hasilnya tidak sesuai dengan harapan orangtua, maka orangtua juga harus menyadari dan menerima kapasitas intelektul anak. Setiap anak, seperti orang tua/orang dewasa juga memiliki kapasitas intelektual yang berbeda, ada yang cerdas, rata-rata bahkan di bawahnya.
Untuk itu, orangtua harus mengenali, menyadari dan menerima kondisi tersebut.
Bila memang anak tidak terlalu menonjol dalam prestasi akademis, cobalah dilihat apakah anak memiliki prestasi atau kemampuan di bidang lain yang bisa dikembangkan secara lebih optimal.
Penekanan/pemaksaan kepada anak dapat dipastikan bukan akan mendorong anak untuk berprestasi, sebaliknya dapat menimbulkan trauma kepada anak yang akhirnya dapat mempengaruhi perilaku anak.