Ramadan 1439 H
Berpuasa Tapi Tak Salat, Benarkah Merusak Pahala dan Batal Puasanya?
Dua hadits yang dikutip di atas menunjukan betapa pentingnya mengerjakan salat. Terlebih lagi, terdapat kesepakatan ulama (ijma’)...
"Orang yang masuk dalam kategori pertama, maka ia dihukumi murtad."
"Sementara orang yang meninggalkannya karena malas, hingga waktunya habis, maka ia masih dikatakan muslim.”
Berdasarkan pendapat ini, orang yang tidak mengerjakan salat karena mengingkari kewajibannya, puasanya batal secara otomatis.
Sebab dia sudah dianggap murtad dan keluar dari Islam termasuk hal yang dapat membatalkan puasa.
Sementara puasa orang yang tidak mengerjakannya karena malas atau sibuk, statusnya masih muslim dan puasanya tidak batal secara esensial.
Kendati puasanya tidak batal secara esensial atau secara hukum fikih tidak dianggap batal dan tidak wajib qadha, namun puasanya tidak bernilai apa-apa dan pahalanya berkurang.
Dalam Taqriratus Sadidah disebutkan:
بطلات الصوم هي قسمان: قسم يبطل ثواب الصوم لا الصوم نفسه، فلا يجب عليه القضاء، وتسمى محبطات. وقسم يبطل الصوم وكذلك الثواب – إن كان بغير عذر- فيجب فيه القضاء، وتسمى مفطرات.
Artinya, “Pembatalan puasa itu dibagi menjadi dua kategori: pertama, pembatalan yang merusak pahala puasa, namun tidak membatalkan puasa itu sendiri."
"Kategori ini dinamakan muhbithat (merusak pahala puasa) dan tidak diwajibkan qadha; kedua, sesuatu yang dapat membatalkan puasa dan merusak pahalanya."
Bila melakukan ini tanpa udzur, maka wajib mengqadha puasa di hari lainnya. Kategori ini dinamakan mufthirat (membatalkan puasa).
Meninggalkan salat itu dapat dikategorikan sebagai muhbithat al-shaum.
Dia tidak merusak keabsahan puasa, tetapi dia merusak pahala puasa.
Sehingga, ibadah puasa yang mereka kerjakan tidak bernilai di hapadan Allah.
Meskipun demikian, diharuskan untuk tetap berpuasa sebagaimana mestinya dan mengqadha salat yang ditinggalnya.