Editorial

Antiklimaks Vonis Setnov

Putusan itu lebih ringan setahun dari tuntutan jaksa KPK, yakni 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Penulis: Rizki Kurnia | Editor: Jamadin
Kompas.com
Terdakwa kasus korupsi pengadaan KTP elektronik Setya Novanto menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - 

Kasus megakorupsi pengadaan KTP-elektronik dengan terdakwa mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto (Setnov) akhirnya antiklimaks di persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Selasa (24/4)).

Majelis hakim memvonis terdakwa Setya Novanto dengan pidana penjara selama 15 tahun, denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.

Putusan itu lebih ringan setahun dari tuntutan jaksa KPK, yakni 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Novanto juga diharuskan membayar uang pengganti 7,3 juta dollar Amerika Serikat atau setara Rp66 miliar selambat-lambatnya satu bulan setelah hukuman berkekuatan hukum tetap. Hak politik Novanto juga dicabut lima tahun setelah dia menjalani masa hukumannya.

Kepada majelis hakim, Setnov menyatakan masih pikir-pikir, apakah akan mengajukan banding atau tidak atas vonis 15 tahun tersebut. Hakim menjelaskan Novanto akan dianggap menerima putusan bila tidak menyatakan sikap dalam waktu satu minggu setelah putusan dibacakan. Hal serupa juga berlaku bagi jaksa penuntut umum (JPU) yang belum bisa menanggapi putusan.

(Baca: FPDL dan Ormas Landak Mengawal Sidang Kasus Ujaran Kebencian Terhadap Cornelis )

Sebelumnya dalam sidang putusan tersebut hakim memaparkan pertimbangan tentang kerugian negara, di mana terdakwa disebut mengantongi Rp2,3 triliun dari selisih harga wajar proyek KTP-E. Berdasarkan keterangan para saksi bahwa harga wajar proyek KTP-e hanya Rp2,6 triliun.

Namun, harganya membengkak mencapai Rp4,9 triliun karena kongkalikong antara Setnov dengan konsorsium pemenang tender yakni Konsorsium PRRI yang dikoordinir oleh Andy Agustinus alias Andy Narogong, mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman, serta Pejabat Pembuat Komitmen Kemendagri, Sugiharto.

Vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan kepada Setnov bisa dibilang antiklimaks, karena tak sebanding dengan nilai kerugian sosial yang diterima masyarakat dari akibat korupsi tersebut. Sebagai pejabat negara yang dipilih rakyat melalui mekanisme Pemilu, Novanto sudah mengkhianati amanah yang diembannya.

Novanto adalah ketua lembaga tinggi negara ketiga yang divonis pidana penjara, menyusul Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan Ketua DPR Irman Gusman. Bedanya, Akil divonis pidana penjara seumur hidup. Sementara Irman Gusman diganjar hukuman 4,5 tahun penjara, karena dia hanya menerima suap Rp100 juta untuk mengurus alokasi gula.

(Baca: Ditutup Sejak 2007, Warga Harap Jembatan Timbang Beroperasi Kembali )

Sementara Akil terbukti menerima suap senilai Rp57,78 miliar dan US$500 ribu terkait pengurusan 15 sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi. Akil juga dinilai bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang sepanjang 22 Oktober 2010 sampai 2 Oktober 2013 sebesar Rp 161.080.685.150.

Jika Akil dianggap tidak hanya merusak nama baik Mahkamah Konstitusi, tetapi juga termasuk nama baik dari para hakim, Novanto juga bisa dianggap mencemarkan nama baik DPR dan anggota DPR. Itu bisa berdampak pada runtuhnya kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.

Bahkan, jika dilihat posisi lembaganya, skala kerusakannya lebih besar. Sebab, negara ini tak akan cacat sekiranya MK tak dipercaya rakyat atau bahkan bubar sekalipun.

Tapi, yang pasti, negara ini akan invalid kalau DPR tidak lagi dipandang rakyat sebagai wadah konstitusional penyaluran aspirasi. Program e-KTP dan pembangunan sistem data kependudukan yang terintegrasi juga terhambat.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved