Gagal Move On
Di samping muncul tagar dua periode untuk kepemimpinan Jokowi, #Jokowi2Periode, muncul pula anti-tesis dengan tagar #2019gantipresiden.
Penulis: Rizki Kurnia | Editor: Dhita Mutiasari
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Meski Pilpres masih satu tahun, suhu politik semakin memanas. Aksi dukung mendukung yang sebelumnya sempat mereda kembali muncul ke permukaan.
Plarisasi dua kubu pada Pilpres 2014 tampaknya masih membekas hingga saat ini, dan bahkan kian mengkristal. Dua kubu inilah yang belakangan juga kembali bersilat status maupun postingan di sosial media.
Di samping muncul tagar dua periode untuk kepemimpinan Jokowi, #Jokowi2Periode, muncul pula anti-tesis dengan tagar #2019gantipresiden.
Baca: Simak Kronologi Penangkapan Pelaku Curanmor Yang Nekat Beraksi di Mapolresta Pontianak
Bahkan dua jorgan berupa tagar di sosial media tersebut sudah merambah ke dunia nyata, dalam wujud kaus bergambar dua tagar tersebut. Pialang bisnis kaus ini dengan cerdas memainkan bisnis tersebut dengan membuat plesetan dari tagar yang tengah menjadi pembicaraan.
Baca: 10 Penampakan Ini Benar-benar Nyata, dari yang Lucu hingga Menyeramkan
Dari sudut pandang politik, tentu tak ada yang perlu dipersoalkan dari dua tagar tersebut. Di satu sisi, pendukung Jokowi tentu wajar jika mereka ingin presiden pilihannya kembali terpilih untuk kali kedua di Pilpres 2019.
Baca: Braaak! 2 Truk Bertabrakan di Ketapang, Kondisi Sopir Diluar Dugaan
Di sisi lain, pendukung Prabowo juga tak bisa dilarang saat menginginkan ada pergantian presiden di Pilpres 2019 mendatang. Secara normatif, tagar 2019 ganti presiden paralel atau sejalan dengan tagar dua periode.
Tagar ganti presiden bukanlah bentuk pembangkangan dari warga negara, melainkan sebuah sikap politik yang konstitusional.
Karena pada pilpres mendatang, kita memang butuh presiden baru, yakni presiden periode 2019 - 2024, untuk mengganti presiden lama periode 2014 - 2019. Tapi bisa jadi orangnya yang terpilih sama, yakni Jokowi. Atau Prabowo, Gatot Nurmantyo.
Konstelasi politik belakangan ini memang tak lepas dari rivalitas antara Jokowi dan Prabowo. Mengutip apa yang disampaikan Mahfud MD pada diskusi di acara ILC TVOne dua hari lalu, yang justru perlu disayangkan adalah mengapa justru para pendukung keduanya gagal move on.
Mahfud menegaskan, antara Jokowi dan Prabowo sudah seringkali bertemu, tanpa pemberitaan. Keduanya sudah move on, namun kenapa para pendukungnya justru terus berkelahi.
Kenyataannya memanglah demikian, saat berbicara politik, jika bukan Prabowo selalu diidentikan dengan Jokowi. Demikian sebaliknya, jika bukan Jokowi, selalu diidentikan dengan Prabowo.
Yang berbicara negatifnya Prabowo diasumsikan pendukung Jokowi dan demikian pula sebaliknya, saat mengkritik pemerintahan Jokowi, selalu diidentikkan sebagai pendukung Prabowo.
Kondisi itulah yang membuat publik saat ini tidak menjadi cerdas. Diskusi-diskusi yang terjadi tidak pernah bicara substansi.
Diskusi yang terjadi selalu dilandasi emosional sehingga yang tampak adalah kegaduhan antara kedua kubu yang terus berhadapan secara diametral dari 2014 hingga jelang 2019 ini.
Namun perkara kini makin ruwet lantaran adanya politisasi. Segala perkara di negeri ini dipolitisasi tanpa tawaran solusi yang hakiki. Tidak seperti sejumlah bangsa lain, bangsa ini bukannya bersama-sama berupaya menyelesaikan persoalan, melainkan malah menambah ruwet perkara.
Salah satunya ialah utang Indonesia.
Disebarkan opini Indonesia di ambang bubar lantaran utang yang sukar terbayar, yang kemudian direspon Presiden Jokowi, Sabtu (7/4). Jokowi mengungkapkan ketika dirinya dilantik sebagai presiden, utang Indonesia sudah di angka Rp2.700 triliun dengan bunga Rp250 triliun per tahun. Wajar bila Jokowi merespons karena politisasi utang tersebut dialamatkan kepadanya.
Kita percaya, dengan mengungkapkan sebagian utang tersebut merupakan warisan rezim-rezim sebelumnya, Presiden Jokowi tidak hendak menyalahkan presiden-presiden pendahulunya.
Presiden Jokowi hanya hendak meluruskan utang Indonesia yang kini sekitar Rp4.000 triliun merupakan akumulasi.
Kalau boleh jujur, sebenarnya kita harus prihatin dengan kondisi ini.
Tak ada lagi ruang diskusi yang mencerdaskan ketika semua selalu mentok pada Jokowi atau Prabowo. Ke depan, bangsa ini menanggung banyak persoalan yang mesti diselesaikan.
Kita tak boleh lelah bekerja untuk mengatasi persoalan itu.
Namun, janganlah menambah berat persoalan dengan merecoki dan memolitisasinya.
Bisa-bisa bangsa ini kehabisan energi mengurus sesat pikir terhadap persoalan tersebut, bukan lelah mengatasi persoalan itu sendiri. Mari Move-on, agar Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap utuh, tetap bersatu. (*)