Tukang Kritik yang Anti-Kritik
Jika sebelumnya terpusat di eksekutif, kemudian berbagi dengan legislatif dan yudikatif, sebagaimana konsep trias politika.
Gertakan, kecaman atau kritikan terhadap pemerintah tentu bukan hanya terbungsu dalam isu pemazulan.
Sejumlah kemasan kritik pun terus berlangsung dalam setiap periode pemerintahan dan terus terjadi hingga kini. Pada saat bersamaan, ketika kritik terhadap pemerintah dilancarkan legislatif, gencar pula kritikan (dalam berbagai bentuk) dialamatkan ke senayan.
Rupaya, para legislator di senayan mulai gerah dengan kritik yang dialamatkan pada para `tukang kritik' ini.
Puncaknya, DPR pun mengesahkan Undang-Undang Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD), yang satu di antara pasalnya menjadi benteng kritik.
Dalam pasal 122 hasil revisi, berbunyi: "mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perserorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR."
Frase "merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR" tafsirnya sangat luas dan ambigu.
Anggota DPR yang jadi sasaran kritik warga dan pengamat, bisa mengartikan kritik tersebut sebagai merendahkan kehormatannya, sehingga menyeret warga dan pengamat itu ke ranah pidana.
Masyarakat pun bisa jadi akan takut mengkritik wakilnya. Bila ketakutan warga sampai pada puncaknya, berarti kita akan kembali ke zaman `anti kritik'.
Bedanya, kali ini yang anti kritik adalah lembaga yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengkritisi pemerintah. (*)