Kabut Asap Karhutla, Ini Tanggapan WALHI Kalbar

Celakanya, secara regulasi satu wilayah kemudian di sebut sebagai darurat bencana ketika emergency response sudah ramai.

Penulis: Jimmi Abraham | Editor: Dhita Mutiasari
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/DESTRIADI YUNAS JUMASANI
Asap pekat memenuhi kawasan perumahan masyarakat akibat kebakaran lahan yang berada tidak jauh dari perumahan di Komplek Ardenia Ratri Jalan Wonodadi II, Dusun Wonodadi, Desa Arang Limbung, Kec Sui Raya, Kab Kubu Raya, Kalimantan Barat, Minggu (18/2/2018) sore. Pemadam kebakaran swasta, BPBD Kubu Raya, Polisi dan TNI berupaya memadamkan api kebakaran lahan yang berlangsung dua hari ini. TRIBUN PONTIANAK/DESTRIADI YUNAS JUMASANI 

Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Rizky Prabowo Rahino

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK – Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalbar, Anton P Wijaya mengkritisi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di bebebera wilayah Kalbar. Dua diantaranya di Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya.

Seperti apa kritisinya, simak dalam penjelasan berikut ini :

“Ini menjelaskan bahwa apa yang diklaim pemerintah bahwa pengalaman karhutla tahun 2015 sudah memberi pelajaran, kemudian sudah melakukan preparation yang baik untuk memastikan tidak ada lagi kebakaran. Ternyata, kondisi riil di lapangan tidak seperti itu.

Baca: Penampakan Asap Pekat dari Kebakaran Lahan di Jalan Purnama Pontianak

Kenapa karhutla kembali ada? Pertama, tindakan preventif dan preemtif itu tidak berjalan. Logikanya kalau preventif dan preemtif berjalan, maka kondisi sekarang tidak terjadi.

Baca: Kebakaran Lahan di Kubu Raya Terpantau dari Ketinggian

Ini menjadi catatan penting pemerintah dan seluruh stakeholder yang sangat serius dengan isu kebakaran dan seolah-olah pasang badan kebakaran tidak terjadi lagi.

Fakta yang ada sekarang menunjukkan belum genap dua minggu mulai kering dan musim panas sudah ada kabut asap dan titik hotspot tersebar di mana-mana

Kedua, kita masih terjebak pada emergency reponses saat menghadapi karhutla. Artinya ketika ada kebakaran terjadi, baru bahu-membahu dan pontang-panting memadamkan api, sampai evakuasi korban dan sebagainya. Ini yang dari dulu kita kritik bahwa tidak bisa membebaskan Kalbar dari bencana kebakaran dan kabut asap kalau kita hanya bekerja di level ini.

Celakanya, secara regulasi satu wilayah kemudian di sebut sebagai darurat bencana ketika emergency response sudah ramai.

Dalam arti lain, penggunaan dana APBN dan APBD itu legal dipakai karena sudah ditetapkan statusnya.

Ini kita kritik, pencegahan itu bukan hanya dalam konteks memadamkan api yang sudah terjadi di lapangan.

Kita menekankan pencegahan dan preemtif itu prioritas dengan melakukan edukasi serta membangun kesadaran publik dan partisipasi publik yang lebih luas.

Kenapa ? Karena tenaga dan peralatan terbatas. Masyarakat di kawasan gambut lah yang kemudian menjadi kuncinya.

Dari tahun 2015 sampai kita masuk ke 2018, boleh dikatakan ketika berbicara masalah kebakaran, masyarakat belum menganggap itu masalah mereka, tapi itu masalah pemerintah.

Hal berbeda ketika edukasi, kesadaran publik dan partisipasi publik sudah ada. Maka masyarakat akan berpikir kebakaran adalah masalah mereka.

Mereka juga akan merasa rugi karena kebakaran menghancurkan wilayah hidup dan budidaya mereka.

Ketiga,kita sepakat saja bahwa proses penegakkan hukum itu harus dilakukan.

Dari dulu kita berteriak soal lemahnya penegakkan hukum dilakukan oleh aparat penegak hukumterkait kejahatan karhutla.

Tapi kita juga tidak mau aparat keamanan dan kepolisian takut dengan perusahaan.

Lalu, kebakaran yang terjadi di lahan konsensi perusahaan tidak bisa diurus serta sekedar memenuhi target harus ada yang dihukum.

Lalu petani kecil, orang bakar sampah yang kemudian ditangkap atau dikriminalkan. Itu yang kita kritik dari dulu.

Penegakkan harus dilakukan dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung maka kearifan lokal masyarakat harus dihormati.

Target pemerintah harus kepada perusahaan-perusahaan yang sengaja membakar untuk proses land clearing atau membersihkan lahan.

Sejarah Kalbar itu, kebakaran besar disebabkan oleh perusahaan dan itu bisa di-Tracking di lapangan dimana bekas-bekas kebakaran menjadi kebun sawit semua.

Dalam konteks ini kita juga menolak seolah-olah masyarakat lah yang jadi penyebabnya.

Patroli tentara bersenjata masuk keluar kampung melarang orang bakar ladang. Kemudian orang yang bakar ladang dibom air melalui helikopter.

Tetapi kebakaran yang dilakukan oleh perusahaan tidak diurus-urus.

Pengalaman tahun 2015 itu ada empat perusahaan di Kalbar yang sudah disidik menjadi tersangka, masuk pengadilan namun hingga kini belum ada kabar.

Kita sepakat kalau Kapolda Kalbar ingin menegakkan hukum, ini yang ditunggu masyarakat. Tapi pastikan empat perusahaan yang tidak ada kabar itu diselesaikan.

Baru satu yang di SP 3 kan. Tiga lainnya masih di pengadilan.

Kemudian pastikan perusahaan tidak membakar.

Jika kita berbicara Pontianak dan sekitarnya, kebakaran paling banyak kan terjadi di areal budidaya sekitar kota yang memang faktornya bisa sengaja atau tidak sengaja.

Para petani Kota Pontianak, Kubu Raya dan sekitarnya harus diberikan pemahaman lebih memadai.

Saya mendukung ultimatum Presiden Jokowi yang mau mencopot Kapolda dan Pangdam yang wilayahnya terjadi karhutla. Itu komitmen pemerintah agar tidak ada karhutla.

WALHI akan melakukan monitoring serius terkait hotspot dan inisiatif yang dilakukan pemerintah dalam rangka mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan. 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved