Bejat! Oknum Guru Ini Cabuli 25 Anak, Modusnya Sering Dilakukan
Pelaku berinisial WS alias Babeh sehari-hari berprofesi sebagai guru honorer di salah satu SD....................
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Polresta Tangerang mengungkap kasus phedophilia dengan korban 25 anak.
Pelaku berinisial WS alias Babeh sehari-hari berprofesi sebagai guru honorer di salah satu SD kawasan Rajeg.
Kapolres Kota Tangerang Kombes Pol H.M. Sabilul Alif mengatakan, pengungkapan kasus itu berawal dari pesan singkat yang diterimanya dari masyarakat yang melaporkan kasus kekerasan seksual kepada anak atau pedofilia.
Berawal dari SMS itu, Sabilul memerintahkan Kasat Reskrim Kompol Wiwin Setiawan untuk melakukan penyelidikan dan menindaklanjuti informasi tersebut.
"Peristiwa ini tidak langsung diekspos, mengingat kepentingan penyelidikan termasuk untuk menyelidiki anak-anak lain yang turut menjadi korban," kata Sabilul dalam keterangan tertulis, Kamis (4/1/2018).
Selain itu, kata Sabilul, pertimbangan lain kasus ini tidak langsung diekspos adalah untuk melindungi hak-hak anak yang di dalamnya termasuk faktor psikologis anak.
"Tidak hanya itu, penanganan komprehensif juga agar tersangka tidak diamuk massa," kata Sabilul.
Setelah serangkaian penyelidikan, pada tanggal 20 Desember 2017, Sat Reskrim Unit V PPA, Pimpinan Kanit PPA Ipda Iwan Dewantoro, bersama 4 anggotanya melakukan penangkapan terhadap tersangka berinisial WS alias Babeh di kediamannya di Kampung Sakem, Desa Tamiang, Kecamatan Gunung Kaler, Kabupaten Tangerang.
Kepada Sabilul, tersangka mengakui dan menceritakan perbuatan yang dilakukannya.
Babeh menceritakan, peristiwa itu berawal di Kampung Sakem, Desa Tamiang pada bulan April 2017.
Saat itu, istri tersangka sudah 3 bulan menjadi TKW di Malaysia.
Menurut Babeh, anak-anak sering mendatangi dirinya di gubuk yang didirikan tersangka.
Kedatangan anak-anak karena menganggap tersangka memiliki ajian semar mesem dan bisa mengobati orang sakit.
Anak-anak itu kemudian meminta ajian semar mesem kepada tersangka.
Atas permintaan itu, tersangka bersedia memberikan ajian semar mesem asalkan ada mahar (semacam kompensasi) uang.
Namun, untuk mahar uang, anak-anak mengaku tidak memilikinya.
"Tersangka kemudian mengatakan, mahar uang bisa diganti asalkan anak-anak bersedia disodomi. Berdasarkan pengakuan tersangka, anak-anak bersedia disodomi olehnya," kata Sabilul.
Jika ada anak yang menolak disodomi, tersangka menakut-nakuti korban bahwa jika tidak bersedia disodomi maka akan menerima kesialan selama 60 hari.
"Atas dasar itulah, akhirnya anak-anak bersedia disodomi. Tersangka mengatakan, kebanyakan anak yang menjadi korbannya enggan bercerita ke orang lain karena malu atau takut," imbuh Sabilul.
Babeh, kata Sabilul, mengaku gubuk yang didirikanya di Sakem, Tamiang berdekatan dengan Pondok Pesantren.
Tersangka mengklaim memiliki suara bagus sehingga banyak anak-anak yang mendatanginya meminta resep agar suara bagus.
Menurut Babeh, banyaknya anak-anak yang mendatanginya membuat salah satu tetangga tidak terima sehingga gubuk yang didirikannya dibakar.
"Tersangka kemudian pindah tempat dan kembali mendirikan gubuk Kampung Jawaringan, Desa Sukamanah, Kecamatan Rajeg sekitar bulan Oktober 2017," kata Sabilul.
Namun, menurut tersangka, meski sudah pindah tempat, anak-anak tetap mendatanginya.
Di gubuk yang baru itu, tersangka kembali melakukan aksinya dengan modus serupa.
Hingga pada tanggal 2 Desember 2017, tersangka kembali melakukan aksi kekerasan seksual kepada 3 anak-anak.
Salah satu anak kemudian menceritakan peristiwa itu ke orangtuanya.
Setelah melakukan penyelidikan, pada 14 Desember 2017, berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP /29/K/XII/2017/Sek.Rajeg Tanggal 14 Desember 2017, seorang warga akhirnya melaporkan bahwa anak laki-lakinya menjadi korban peristiwa itu ke Polsek Rajeg.
Setelah dilakukan visum, atas perintah Sabilul, kasus itu diambil alih Polresta Tangerang dengan Pelimpahan Berkas Perkara Nomor B: 151/XII/2017/Sek.Rajeg, tanggal 20 Desember 2017.
Pelimpahan penanganan itu dilatarbelakangi sensitivitas kasus serta pola penanganan yang harus benar-benar maksimal.
Dari hasil interogasi, jumlah anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual sebanyak 25 orang yang kesemuanya sudah menjalani visum.
"Saat saya menyebutkan satu per satu nama anak yang menjadi korban, tersangka mengaku mengenalinya. Bahkan, saat saya salah mengeja nama anak yang menjadi korban, tersangkalah yang mengoreksinya," kata Sabilul.
Sabilul mengatakan pihaknya sudah melakukan pemeriksaan kejiwaan terhadap tersangka dan hasilnya tersangka dinyatakan normal.
Rata-rata usia anak yang menjadi korban kekerasan seksual oleh tersangka antara 10-15 tahun dan semua berjenis kelamin laki-laki.
Dari peristiwa itu, diamankan barang bukti berupa 1 kaos lengan pendek merek “little boy”, 1 celana pendek warna biru ungu, pelor gotri, dan telepon genggam.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 5 tahun dalam paling lama 15 tahun.
"Untuk selanjutnya, langkah yang diambil adalah melakukan pemeriksaan terhadap korban didampingi orangtua, saksi, dan tersangka. Kemudian melengkapi administrasi penyidikan dan gelar perkara. Kepada para korban diberikan trauma healing dan pendampingan dari P2TP2A dan Kemen PPPA," ujar Sabilul.
Hingga saat ini, proses sudah pada tingkat penyidikan pemeriksaan saksi-saksi dan para korban serta dalam proses pemberkasan.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi yang akrab disapa Kak Seto angkat bicara mengenai kejahatan seksual oleh guru terhadap 25 anak di Tangerang.
"Kasus ini pertama kali masuk ke Lembaga Perlindungan Anak Indonesia sekitar dua pekan lalu. LPAI sudah meneruskannya ke LPA Banten yang diketuai oleh Iip Safrudin," kata Kak Seto dalam keterangan tertulis, Jumat (5/1/2018).
Menurut Kak Seto, kasus tersebut menambah bukti positif bahwa seluruh masyarakat kian tangguh menghadapi kejahatan seksual terhadap anak.
"Masyarakat melaporkan, media memberitakan, polisi melakukan penindakan," kata Kak Seto.
Publik, kata Kak Seto, sering menyebutkan anak akan menderita akibat kejahatan tersebut.
"Tapi berapa sesungguhnya nilai penderitaan? Tentu tak terperi. Namun LPAI, pada workshop di Amerika Serikat, menemukan bahwa kerugian per anak adalah sekitar US$ 180,000. Silakan kalikan dengan jumlah anak yang menjadi korban di sini," kata Kak Seto.
Kak Seto mengingatkan besarnya kerugian yang dialami sehingga seluruh pihak sepatutnya tidak berkutat hanya pada perlakuan terhadap pelaku.
Namun, harus dipikirkan penanganan selanjutnya terhadap korban.
"Jawabannya adalah restitusi. Seiring dengan keluarnya PP tentang Restitusi bbrp waktu lalu, LPAI menyemangati Polres untuk sejak tahap penyidikan juga mulai memproses pengajuan restitusi bagi para korban," kata Kak Seto.
Sebelumnya, Polresta Tangerang mengungkap kasus phedophilia dengan korban 25 anak.
Pelaku berinisial WS alias Babeh sehari-hari berprofesi sebagai guru honorer di salah satu SD kawasan Rajeg.
Kapolres Kota Tangerang Kombes Pol H.M. Sabilul Alif menuturkan pengungkapan kasus itu berawal dari pesan singkat yang diterimanya dari masyarakat yang melaporkan kasus kekerasan seksual kepada anak atau pedofilia.
Berawal dari SMS itu, Sabilul memerintahkan Kasat Reskrim Kompol Wiwin Setiawan untuk melakukan penyelidikan dan menindaklanjuti informasi itu.
"Peristiwa ini tidak langsung diekspos mengingat kepentingan penyelidikan termasuk untuk menyelidiki anak-anak lain yang turut menjadi korban," kata Sabilul dalam keterangan tertulis, Kamis (4/1/2018).
Selain itu, kata Sabilul, pertimbangan lain kasus ini tidak langsung diekspos adalah untuk melindungi hak-hak anak yang di dalamnya termasuk faktor psikologis anak.
"Tidak hanya itu, penanganan komprehensif juga agar tersangka tidak diamuk massa," kata Sabilul.