Batu Bertulis di Nanga Mahap, Situs Sejarah Yang Misterius
Saking misteriusnya, hingga saat ini tidak ada satu orang pun, bahkan ahli sejarah sekalipun yang dapat menerjemahkan pesan yang tertulis
Penulis: Rivaldi Ade Musliadi | Editor: Dhita Mutiasari
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Rivaldi Ade Musliadi
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SEKADAU - Dibalik keindahan alam dan kekayaan adat dan budayanya, rupanya Kabupaten Sekadau menyimpan sebuah misteri yang sampai saat ini belum dapat dipecahkan.
Misteri tersebut adalah sebuah situs peninggalan sejarah pada abad 7 masehi silam, yang merupakan sebuah batu besar berukuran lebar 5.10 meter, dan tinggi 3.90 meter.
Dan uniknya, pada bagian depan batu berukuran besar tersebut terdapat tulisan seperti ukiran.

Bayangkan saja, pada era tersebut belum ditemukan alat untuk mengukir batu.
Baca: Meski Tak Mudah, Pertamina Jangkau Daerah 3T
Bahkan yang membuat dahi anda berkerut, di sekitarnya tidak terdapat batu lainnya, baik dari timur, barat, selatan, dan utara tidak ditemukan batu berukuran sama.
Karena terdapat ukiran dan tulisan, maka batu tersebut dinamakan batu bertulis.
Hingga kini, batu bertulis yang terletak di Dusun Pait Desa Sebabas Kecamatan Nanga Mahap menjadi objek wisata, dan situs peninggalan sejarah.
Baca: Keren, Program Dodol Rumput Laut Mahasiswa Untan Ini Jadi Satu Dari 5 Terbaik di Ajang Nasional
Untuk menempuh perjalanan menuju ke lokasi batu bertulis, hanya bisa dilalui menggunakan kendaraan roda dua.
Dan membutuhkan waktu sekitar 30 menit perjalanan dari pusat Kecamatan Nanga Mahap.
Saking misteriusnya, hingga saat ini tidak ada satu orang pun, bahkan ahli sejarah sekalipun yang dapat menerjemahkan pesan yang tertulis di batu tersebut.
Dan konon katanya, barang siapa yang bisa menerjemahkan isi pesan di batu bertulis tersebut, maka akan mengalami nasib yang tidak baik.
Informasi yang berhasil dihimpun, ternyata sudah pernah beberapa kali para ahli sanskerta dari dalam dan luar negeri yang mencoba menerjemahkan dan mencari tahu asal mula objek tersebut, tapi belum ada kata sepakat.
Hal itu diungkapkan oleh Albinus Akin (47) sang juru pelihara batu bertulis.
Ia mengatakan, sudah beberapa ahli yang mencoba menerjemahkan makna yang terkandung dalam stupa dan tulisan sanskerta tersebut.
"Batu ini juga dulunya digunakan untuk pemujaan. Dari cerita dari leluhur batu ini ada 7 penunggu, pangeran agung, mangku bumi dan lainnya," ujarnya.
Pada 1985, seorang ahli sanskerta dari Jakarta Dra. Endang pernah mencoba menerjemahkan tulisan dibalik batu tersebut. Akan tetapi meski telah dapat menerjemahkan tapi belum sempat disebarkan.
"Sempat berhasil diterjemahkan namun belum di publikasikan. Tapi sayang setahun berikutnya, ibu Endang tersebut meninggal dunia. Dan sampai saat ini belum ada yang tahu apa maksud dari pesan tersebut," jelasnya.
Sebagai juru pelihara, Akin terus berusaha menjaga dan merawat tempat tersebut.
Bahkan menurutnya, sebelum masuknya agama katolik, tempat tersebut sebagai tempat persembahan dan sampai sekarang dijadikan sebagai Tempat Mulang Ajat (sesuai bahasa tradisi–balas niat/nazar).
Batu dengan aksara pallawa dan sanskerta tersebut ternyata masih didalam kawasan hutan lindung. Dan pada tubuh batu, terdapat ukiran stupa.
Diantara 7 stupa terkandung 7 makna, yakni deretan nama-nama dalam bentuk relief batu bertulis seperti Pangeran Agung, Pangeran Adam, Segentar Alam, Mangkubumi, Barang Tiba, Singe Jade dengan julukan panglima jaga dan Sinyoka Nyai Anta yang telah diabadikan sebagai sebuah Credit Union (CU) Nyai Anta Kecamatan Nanga Taman.
Akin berharap, melalui pemerintah daerah kabupaten sekadau, objek tersebut dapat terus dan terus dilestarikan serta selalu terjaga.
Pasalnya, masyarakat setempat sudah berkomitmen untuk tidak melakukan ekspansi lahan perkebunan.
"Semoga pemerintah dapat mengakomodir apa harapan masyarakat," harapnya.