Kearifan Lokal Suku Dayak Dalam Penyelesaian Konflik

Pakar Dayak, Kristianus Atok mengatakan dalam suku Dayak, terdapat kearifan lokal yang saat ini masih digunakan untuk menyelesaikan konflik.

Penulis: Muzammilul Abrori | Editor: Dhita Mutiasari
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/CLAUDIA LIBERANI
Praktisi Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri (STAKatN) Kristianus Atok 

Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Claudia Liberani

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Kalimantan Barat yang memiliki beragam suku dan budaya pernah memiliki sejarah konflik sosial yang cukup panjang.

Mulai dari tahun 1770 konflik sosial muncul, rentetannya terus bertambah hingga tahun 1999.

Keadaan setelah konflik sosial ini menarik untuk dipelajari begitu pula dengan upaya menanganinya.

Kalbar yang masih kental dengan budaya patut menggali kearifan lokal yang bisa digunakan untuk menciptakan perdamaian maupun untuk menyelesaikan konflik.

(Baca: Ciptakan Perdamaian dengan Kearifan Lokal dan Hukum Humaniter Internasional )

Pakar Dayak, Kristianus Atok mengatakan dalam suku Dayak, terdapat beberapa kearifan lokal yang sampai saat ini masih digunakan untuk menyelesaikan konflik.

Satu di antaranya adalah adat pamabakng.

Sebuah kearifan lokal yang tumbuh dalam masyarakat Dayak Kanayatn.

(Baca: Aksesori Rohani Kristiani di Toko Orate Dijual dengan Harga Terjangkau )

"Dalam Dayak Selakau, Kanayatn, kita punya mekanisme pamabakng ini merupakan upaya penyelesaian masalah dengan menyerahkannya pada Tuhan, ini dilakukan melalui ritual adat," ujarnya saat menghadiri diskusi mengenai aturan dan tradisi penanganan situasi konflik yang diselenggarakan di Hotel Aston oleh Komite Palang Merah Internasional (ICRC) Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Tanjungpura, Kamis (16/11/2017) lalu.

Dia menjelaskan masyarakat mengakui nilai-nilai yang sudah tertanam sejak dulu. Pamabakng merupakan sebuah ritual adat yang menunjukkan hubungan antara manusia dan Tuhan.

Selain pamabakng dia juga menyebutkan bahaump. Bahaump merupakan kata lain dari musyawarah, sebuah budaya yang dimiliki tiap suku namun dengan sebutan yang berbeda.

"Kita punya budaya musyawarah, bahaump, namun sayangnya setelah seremonial adat tidak pernah dilanjutkan dengan bahaump atar lintas agama," tutur praktisi Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri (STAKatN) ini.

Dia mengungkapkan bahaump ini yang harus diangkat kembali agar upaya untuk menciptakan perdamaian dalam masyarakat bisa tercapai.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved