Posko Anti Kekerasan
Misteri video pemukulan terhadap dua siswa secara brutal dalam kelas yang menghebohkan publik akhirnya berhasil terungkap.
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Misteri video pemukulan terhadap dua siswa secara brutal dalam kelas yang menghebohkan publik akhirnya berhasil terungkap.
Video yang viral di media sosial itu sempat simpang siur dan lantas diketahui soal kebenarannya. Pelaku pemukulan yang semula diduga seorang guru sebagaimana sempat beredar, ternyata sesama murid SMK Bina Utama Kota Pontianak pada 2 November silam.
Kepala Dinas Pendidikan Kalbar Aleksium Akim kepada wartawan (8/11/2017) mengungkapkan, kasus ini sudah selesai.
"Video yang beredar adalah kejadian sesama siswa, bukan guru dengan siswa atau bukan orangtua dengan siswa," kata Akim.
(Baca: Video Pemukulan di SMK Bina Utama Bikin Heboh, Begini Akhir Kasusnya )
(Baca: Viral Video Pemukulan Murid, Psikolog Ungkap Banyak Pelajaran Dari Peristiwa Itu )
Hal senada disampaikan Dirjen Dikdasmen Kemendikbud Hamid Muhammad.
"Itu bukan guru, tetapi sama-sama murid kelas X," ujar Hamid di kantor Kemendikbud Jakarta, Selasa (7/11/2017).
Video kekerasan siswa yang menyita perhatian publik sampai di tingkat Kementerian Pendidikan hingga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Pusat itu kejadiannnya diawali sebuah gurauan, saling mengolok oleh pelajar tersebut dengan kata-kata yang menyinggung AL (17). Lalu memukul ALF (15) berkali-kali, dan H (15) yang berusaha melerai juga kena bogem AL.
(Baca: Terkait Pemukulan Murid, Pihak SMK Bina Utama Akan Tingkatkan Pengawasan )
Kita mengapresiasi Kepala Dinas Pendidikan Kalbar yang telah memediasi kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan, setelah mengundang LPMP Kalbar, Komisioner KPAID Kalbar, guru SMK, siswa dan orangtua terkait, Dinas Pendidikan Kota Pontianak, dan kepolisian.
Karena meski kita mengecam aksi main tinju yang dilakukan Al pada hakikatnya ia adalah korban juga, yakni korban sering bully secara verbal.
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari video kekerasan di SMK ini.
Masyarakat hendaknya tidak mudah terpancing oleh isu-isu yang beredar di medsos karena kenyataan yang sebenarnya tidak seperti yang diviralkan.
Saat awal video beredar, pelaku pemukulan diduga seorang guru.
Informasi lain menyebutkan pelaku adalah orangtua siswi. Dia nekat memukul karena anaknya mengalami pelecehan seksual oleh anak yang menjadi sasaran bogem mentah.
Meski demikian, kita tetap menyayangkan terjadinya aksi kekerasan sesama teman sekelas di SMK tersebut. Ini menambah deretan panjang korban kekerasan di sekolah di Indonesia.
Mulai dari kekerasan verbal berupa bullying atau diejek dan dihina, hingga kekerasan fisik berupa tawuran, pengeroyokan hingga kekerasan oleh senior terhadap junior.
Berdasarkan data dari Center for Research on Women (ICRW) yang dikuti republika.co.id, 22 Januari 2017, sebanyak 84 persen siswa sekolah di Indonesia pernah mengalami kekerasan di sekolah, tertinggi di dunia dibandingkan kasus kekerasan di sekolah yang terjadi di negara Vietnam 79 persen, Nepal 79 persen, Kamboja 73 persen dan Pakistan 43 persen.
Kasus-kasus kekerasan yang terjadi di sekolah tersebut menimbulkan rasa khawatir sekaligus prihatin bagi masyarakat.
Sebab sekolah dianggap tempat proses belajar mengajar, fokus mempelajari bidang pelajaran tertentu dan diterapkan kedisiplinan.
Sangat disayangkan bila aksi kekerasan masih tetap terjadi, apalagi sampai ada korban meninggal dunia.
Seperti dialami Kresna Wahyu Nurachmad (15), siswa SMA Taruna Nusantara pada Jumat (31/3/2017) yang meninggal setelah dianiaya sesama teman sekolah.
Untuk meminimalisir terjadinya aksi kekerasan di lingkungan sekolah, setuju dengan usulan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad tentang perlunya sekolah membuat posko anti kekerasan.
Posko itu didirikan, antara lain, untuk pengaduan setiap tindak kekerasan yang dialami seluruh warga sekolah, bukan hanya siswa.
Hamid mengakui bahwa Kemendikbud berencana "galak" terhadap sekolah yang tidak membuka posko anti kekerasan. Salah satunya dengan ancaman memblokir layanan dapodik.
Namun, rencana itu tidak bisa dieksekusi hingga saat ini.
"Kalau blokir dapodik itu diterapkan, berapa dana BOS yang tidak keluar," tuturnya seraya menambahkan kasus pemukulan di Pontianak menjadi pelajaran supaya sekolah tergerak membuat posko anti kekerasan.
Semoga. (*)