Kongres Dayak Internasional
Terkesan Romantis, Dara Manis Ini Pilih Lestarikan Budaya Bermain Sape
Dara manis yang mengaku mengenal Sape dari kecil atau SD ini, karena sudah ikut sanggar untuk menari dan mendengarkan alunan Sape itu sendiri.
Penulis: Chris Hamonangan Pery Pardede | Editor: Rizky Zulham
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Ridho Panji Pradana
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Alviria Liling Suryana (21) salah seorang generasi muda lebih memilih untuk menekuni dan mempelajari alat seni yaitu Sape yang adalah kebudayaan dari suku Dayak Kayan Pedalaman Kabupaten Kapuas Hulu.
"Saya memilih Sape karena lebih enak untuk didengar, terkesan romantis, selain itu pula sebagai generasi muda harus melestarikan budaya saya yaitu Dayak Kayan pedalaman Kapuas Hulu," ujar Alviria.
Dara manis yang mengaku mengenal Sape dari kecil atau SD ini, karena sudah ikut sanggar untuk menari dan mendengarkan alunan Sape itu sendiri.
"Oleh sebab itu, saya lebih ingin mempromosikan dan melestarikan Sape itu sendiri," katanya.

Dikatakannya, untuk mempromosikan Sape ada beragam cara, seperti dengan adanya event acara, melalui media sosial, sosialisasi dan mengajarkan kepada anak usia dini, terlebih suku Dayak.
"Untuk mengajak melestarikan Sape, harus diawali dengan membuat orang tersebut dengan Sape, ketika dengan suka Sape maka akan ingin mempelajari Sape," tukasnya.
Sementara itu, Fransiska Mening yang adalah salah seorang penjual Sape dan Bibi dari Alviria Liling Suryana (21) menuturkan, untuk Sape sendiri ada dua jenis.
"Jenis sape bagi kami masyarakat suku Kayan mendalam Kapuas Hulu Putusibbau Kota, ada dua jenis, satu ada sape kenyah, atau yang telah sering dimainkan, dan sape Kayan yang tali senarnya hanya ada dua. Kenapa masyarakat Kayan, saya pribadi berani mengatakan sape dari suku kami, dasarnya ada dua, setiap lantunan musik atau alunan mempunyai nama dan tari," ungkapnya.

Menurut Fransiska, untuk jenis musik Kayan hanya dua tali senar agak kecil dan dalam upacara adat resmi suku Kayan mendalam dimainkan Sape, itulah dasar Ia berani mengatakan Sape dari suku Kayan mendalam.
"Kami juga digallery memproduksi Sape yang biasa ditampilkan dalam pementasan sepeeti nanti malam, selain Sape kami juga ada memproduksi sumpit," katanya.
Untuk bahan Sape sendiri, kata dia, untuk suku Kayan berdasarkan cerita dari Telima atau Syair Kayan, Sape awalnua berasal dari kayu Merang yang agak berat dan mempunyai harga agak mahal.
"Jika telah jadi, harganya sekitar Rp. 2 jutaan, kalau kayu KW atau biasa dipakai biasanya hanya Rp. 1 jutaan, namun dengan yang KW tidak bisa dipastikan bunyi dan kualitasnya. Kita jual yang berbahan kayu Merang ketika pembukaan Kongres oleh salah satu asisten Pemprov Kalbar Alex Rambona," tuturnya.

Untuk mencari kayu merang, diakuinya untuk sekarang juga agak susah, harus masuk kepedalaman dan terlebih kayu yang langka.
"Untuk pembuatan Sape, jika dibentuk sekitar setengah hari, setelah itu dikeringkan beberapa hari lalu dilukis dan pahat sekitar dua hari dan kemudian dicat. Satu sape sekitar tiga hari sudah selesai termasuk dengan senar. Kesulitan pembuatan Sape hanya ada pada bahan, karena kayu yang susah," ujarnya.
Dikatakannya, pemasaran Sape yang diproduksinya telah sampai Kuching Malaysia, dan menghabiskan sembilan jenis Sape.
Untuk di Kalbar, menurutnya pun masih banyak peminat Sape, hanya yang menjadi masalah adalah menjelaskan kepada calon pembeli bahan asli dan KW, karena pada umumnya mendengar harga mahal pembeli akan enggan.
"Di Kalbar jika berbicara pelestarian Sape, saya seorang Ibu Rumah Tangga cukup bingung, karena bunyi Sape sekarang sudah aneh-aneh, hampir tidak ada bedanya dengan gitar dan orgen. Kemarin juga diadakan lomba Sape saat gawai Dayak, namun bunyi Sape sudah modern dan punya daerah lain," kata dia.
Ia pun menyarankan agar lebih tepat jika mengadakan lomba di Kalbar dengan tujuan pelestarian, maka harus dikembalikan kewarisan nenek moyang Kalbar.
Dengan begitu, kata dia, anak cucu kedepan akan tau Sape Kalbar, begitu juga dengan busana daerah suku Dayak.