BEM Fakultas Ushuluddin dan Peradaban IAIS Kunjungi Makam Obos
Bagi masyarat Sambas umumnya bahwa situs tersebut lebih dikenal dengan makam obos,
Penulis: Nasaruddin | Editor: Jamadin
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Nasaruddin
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SAMBAS - BEM Fakultas Ushuludin dan Peradaban melakukan studi tour sekaligus melakukan penelitian terhadap situs sejarah kolonial yang terdapat di Bukit Penibungan, Tanjung Batu Pemangkat, Sabtu (4/17/2017).
Ketua BEM sekaligus koordinator kegiatan, Asmadi mengatakan kegiatan dilaksamakan dua hari dengan dua tempat, di Bukit Penibungan Pemangkat dan Bukit Kalang Bahu.
Kegiatan yang dilaksanakan, membersihkan lokasi situs sejarah dan membuat film dokumenter. Kegiatan tersebut merupakan upaya penggalian sejarah dan penelusuran, apalagi situs di Bukit Penibungan merupakan situs yang memiliki cerita unik.
"Bagi masyarat Sambas umumnya bahwa situs tersebut lebih dikenal dengan makam obos," katanya dalam rilis yang diterima Tribun, Sabtu (4/2/2017).

Obos dikenal sebagai orang yang memiliki ilmu sakti, tidak dapat dibunuh kecuali jika dimutilasi dan dipisahkan tubuh yang telah dimutilasi tadi pada tempat yang terpisah. Potongan tubuh obos berdasarkan kisah yang beredar di masyarakat, dikubur pada tempat yang terpisah.
Ada yang berada di Bukit Selindung Sala Tiga, Bukit Penibungan Pemangkat dan sebagian di Daerah seberang, Kalang Bahu, ada juga yang menyebutkan di Pemangkat. Cerita itu menjadi sangat populer di telinga masyarakat, apalagi konon beberapa orang pernah menjumpai mahluk yang menyerupai potongan-potongan tubuh manusia pada lokasi tersebut.
Berdasarkan penelusuran Mahasiswa Fakultas Ushuludin dan Peradaban dalam historiografi kolonial menemukan fakta yang berbeda. Baik tokoh maupun cerita yang berkembang. Bagi Kolonial, tempat itu dinamai Front Sorg atau Benteng Sorg. Penamaan benteng itu berdasarkan nama seorang Letnan Kolonel Pemerintah Belanda, Frederik Johanes Sorg. Ia ditugaskan Belanda dalam rangka menumpas pemberontakan yang terjadi di Sambas yang berpusat di Pemangkat. Peristiwa itu terjadi dalam tahun 1850.

Cerita yang kontraversi dimulai dari operasi yang dilakukan Sorg. Hanya dalam waktu seminggu Sorg berhasil melakukan pengintaian terhadap Para Pemberontak Cina yang berasal dari para penambang emas dari Mandor maupun daerah sekitar. Jumlah para pemberontak sebanyak 3.500 orang yang bersenjata Cantu dan Kelewang. Tepat pada 11 September 1850 baku tembak pun terjadi. Sepertinya dalam folklore masyarakat Sambas, kisah itu dinamakam Perang Kenceng.
Dalam pertempuran tersebut, para Pemberontak Cina dapat dikalahkan. Akan tetapi Letnan Kolonel F.J. Sorg tertembak di sebelah kanan dibawah lutut, sehingga ia dilarikan ke Pontianak dan terpaksa diamputasi karena infeksi. Setelah itu kondisi Sorg tidak membaik. Tepat 25 Oktober 1850 (44 hari pasca pertempuran di Pemangkat) Sorg Meninggal dunia.
Perbedaan kisah yang bertambah maupun berkurang dalam dua versi tersebut sangat mungkin terjadi. Menurut Dosen Sejarah IAIS Sambas, Sunandar, hal itu terjadi tidak lepas dari konteks dimana kisah itu disampaikan. Sambas pada masa itu dihadapkan pada pemberontakan yang para buruh Tambang Cina dan telah membentuk suatu Negara di Sambas, yaitu Republik Lan Fang.
Sultan harus berupaya keras menumpas pemberontakan tersebut dan meminta bantuan Kolonial. Nandar melanjutkan, cerita itu bisa saja menyebar dengan sendirinya hingga keberbagai daerah di Sambas yang bertujuan untuk menakut-nakuti atau dengan tujuan yang lain. Yang pasti, kedua cerita tersebut memang memisahkan bagian-bagian tubuh Sorg.
"Kakinya setelah diamputasi dokter kolonial Belanda di Pontianak, tentu dikuburkan di Pontianak. Atas jasa-jasanya, Gubernur Jendral Hindia Belanda memutuskan benteng yang berada di Bukit Penibungan dinamai Fort Sorg dan di dalam benteng tersebut itulah Sorg dimakamkan. Bagi kolonoal Belanda, Frederik Johanes Sorg disebut sebagai Pahlawan," katanya.