Editorial
KONTROVERSI WACANA FULL DAY SCHOOL
Ia menggagas sistem full day school atau bersekolah sepanjang hari dari jam 7 pagi sampai jam lima sore, baik negeri maupun swasta.
Penulis: Ahmad Suroso | Editor: Marlen Sitinjak
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Baru dua pekan dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy sudah membuat wacana yang mengundang kontroversi.
Ia menggagas sistem full day school atau bersekolah sepanjang hari dari jam 7 pagi sampai jam lima sore, baik negeri maupun swasta.
Seperti sudah dijalankan di banyak sekolah, terutama sekolah swasta di beberapa kota besar.
Sistem ini diterapkan agar anak tidak sendiri ketika orangtua mereka masih bekerja. Dengan sistem full day school secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua mereka masih belum pulang dari kerja.
Program itu juga menghindari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di luar jam sekolah.
BACA JUGA: Mendikbud: Istilah Full Day School Menyesatkan!
Muhadjir menyebutkan jam pulang sekolah akan disamakan dengan jam pulang kerja, yakni jam lima sore, orangtuanya bisa jemput.
Kalau program itu diterapkan, dalam sepekan sekolah akan libur dua hari, yakni Sabtu dan Minggu.
Ini akan memberikan kesempatan bagi peserta didik bisa berkumpul lebih lama dengan keluarga, sehingga komunikasi, ikatan emosional antara orangtua dan anak tetap terjaga.
Meski baru sebatas wacana, rencana itu telah memantik pro kontra di tengah masyarakat, dan menjadi viral di media sosial.
Seorang orangtua siswa, Deddy Mahyarto Kresnoputro, menggagas sebuah petisi "Tolak Pendidikan "Full Day" Sehari Penuh di Indonesia".
Petisi ini ia tujukan kepada Presiden RI, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta para orangtua siswa.
Hingga pukul 13.25 WIB, Selasa (9/8/201), petisi ini telah ditandatangani 14.698 orang.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Asrorun Ni'am Sholeh khawatir, wacana full day school jika diterapkan akan mengganggu kehidupan sosialisasi anak sehari-hari.
Menghabiskan waktu dengan durasi panjang di sekolah dapat mengganggu intensitas interaksi anak.
BACA JUGA: Kalbar Siapkan Sekolah Tinggi Pariwisata
Anak-anak butuh interaksi dengan teman sebaya di sekolah, teman di lingkungan tempat tinggal, dan dengan keluarga di rumah.
Penerapan sekolah sehari penuh dengan alasan banyak orangtua yang sibuk bekerja adalah pernyataan yang sangat melupakan kondisi di negara Indonesia.
Mendikbud lupa bahwa 70 persen lebih masyarakat kita tinggal di desa. Selain itu mengecilkan arti dan peran keluarga dalam proses pembentukan keluarga.
Padahal keluarga adalah institusi yang paling efektif dan bertanggungjawab terhadap pembentukan karakter dan penanaman moral buat anak-anaknya.
Mengutip Hasanudin Abdurakhman, seorang Pemerhati Pendidikan yang juga Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang, pendidikan seharusnya memperbanyak interaksi antara anak dengan orangtua, bukan menghilangkannya.
Hanya karena kita menyekolahkan anak, tidak berarti tanggung jawab mendidik anak gugur.
Sebagai pembanding, Indonesia bisa becermin pada Finlandia sebagai salah salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia dalam berbagai versi, termasuk versi World Economy Forum.
Pada tahun 2000, negara ini bahkan berhasil mencapai tingkat Literacy (kemampuan baca) hingga 100 persen, yang artinya tidak ada satupun warganya yang buta huruf. Apa yang membuat pendidikan di negara mereka sangat maju?
Ternyata bukan karena siswa seharian belajar di sekolah! Finlandia justru melakukan hal sebaliknya.
BACA JUGA: Berjalan Selama 45 Menit Menuju ke Sekolah, Murid-murid ini Harus Melewati Jembatan yang Berbahaya
Siswa SD-SMP hanya sekolah 4-5 jam/hari. Mereka belajar 45 menit, dan berhak rehat 15 menit. Siswa SMP dan SMA pun mengikuti sistem layaknya kuliah. Mereka hanya akan datang pada jadwal pelajaran yang mereka pilih.
Orang-orang Finlandia meyakini bahwa kemampuan terbaik siswa untuk menyerap ilmu baru yang diajarkan justru akan datang, jika mereka memiliki kesempatan mengistirahatkan otak.
Mereka juga lebih produktif di jam-jam belajar karena mengerti bahwa toh sebentar lagi mereka akan dapat bermain kembali.
Memang tiap-tiap negara memiliki latar belakang sosial budaya, tingkat kesadaran, kedisiplinan, tanggung jawab dan pengertian yang berbeda-beda sehingga suatu sistem bisa berjalan sangat baik diterapkan di suatu negara belum tentu berhasil dengan baik jika diterapkan di negara lain.
Terapi tak ada salahnya jika diuji coba untuk mencari yang terbaik. (*)