Insiden Salat Id

Forkoma PMKRI Minta Pembakar Musala Dihukum Setimpal

Ia menilai ulah sekelompok orang membakar kios, rumah, dan sebuah mushala serta mengganggu pelaksanaan salat Id telah menodai ketenangan dan kedamaian

Editor: Stefanus Akim
Google Maps
Lokasi perusakan mushala di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, Jumat (17/7/2015). 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, JAKARTA - Ketua Forum Komunikasi Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (Forkoma PMKRI) Hermawi Fransiskus Taslim menyayangkan insiden di Kabupaten Tolikara, Papua, Jumat (17/7/2015) pagi.

Ia menilai ulah sekelompok orang membakar kios, rumah, dan sebuah mushala serta mengganggu pelaksanaan salat Id di Distrik Kaburaga, Kabupaten Tolikara, Papua, tersebut telah menodai ketenangan dan kedamaian perayaan Idul Fitri 1436 Hijriah.

"Kita dikejutkan oleh peristiwa anarkisme tersebut. Pembakaran tempat ibadah dan rumah-rumah warga di Tolikara, Papua, mencederai bahkan menodai reputasi Indonesia sebagai negara pluralis yang damai," ujar Hermawi Fransiskus Taslim dalam pernyataan pers yang diterima Tribunews, Sabtu (18/7/2015) pagi.

Bagaimanapun insiden ini, kata Taslim, ikut memberi andil atas wajah buruk reputasi kerukunan umat di Indonesia.

Atas insiden tersebut, Taslim meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas. Dan mencari para pelaku serta menghukum setimpal dengan perbuatan mereka.

"Ini pelajaran penting untuk Polri agar tindakan kriminal perusakan dan penodaan agama tidak diberi toleransi sedikit pun. Harus ada tindakan tegas terhadap para pelaku agar peristiwa sejenis tidak terulang," kata Taslim yang berprofesi sebagai advokat di Jakarta.

Kendatipun para pelaku diduga dari kalangan non-muslim yang banyak mendiami Pulau Papua, Taslim mengatakan, Indonesia tidak mengenal konsep mayoritas - minoritas.

"Jadi tidak ada satu pun kelompok masyarakat yang berhak mengklaim sebagai superior atas kelompok lain."

Dalam konteks UUD 45, seluruh rakyat sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law) dan negara wajib memberi perlindungan atas penyelenggaraan ibadah masing-masing agama dan kepercayaan.

Inilah komitmen kebangsaan yg telah ditetapkan oleh para pendiri bangsa.

Taslim mengimbau semua lapisan masyarakat untuk terus menjaga dan memelihara kerukunan umat yang pluralis, kemajemukan, karena pluralisme adalah fakta hidup Indonesia.

"Tanpa pluralisme, tidak ada Indonesia," kata Taslim di ujung keterangannya.

Terpisah, Melkior Wara Mas seorang analis, menganggap aksi pembakaran musala di Tolikara, Papua, merupakan isu terkait suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Dan SARA merupakan realitas sosial yang tidak dapat dielakkan, seolah-olah itu sudah merupakan nasib dari setiap masyarakat di mana pun berada.

Karena SARA merupakan kenyataan sosial, maka keberadaannya tidak dapat dilenyapkan. Bahkan setiap upaya untuk melenyapkan dengan dalih apa pun, termasuk menuju unifikasi masyarakat, cenderung menimbulkan keresahan, gejolak sosial, kerusuhan massa, dan disintegrasi sosial.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved