Kisah Unik Soeharto
Soeharto dan Burung Beo di Cendana
Suatu hari, setelah lengser dari jabatan sebagai presiden 21 Mei 1998, Soeharto mendekati sangkar burung beo.
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, JAKARTA - Di bagian belakang rumah Soeharto, Jl Cendana, Jakarta, ada seekor burung beo yang pandai menirukan suara manusia. Sang beo mampu melafalkan sila-sila dalam Pancasila, mengucapkan assalamualaikum, termasuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Setiap kali Soeharto melintas di dekatnya, burung beo itu langsung berkicau nyaring, "Bapak Soeharto, Presiden Republik Indonesia."
Suatu hari, setelah lengser dari jabatan sebagai presiden 21 Mei 1998, Soeharto mendekati sangkar burung beo. Seperti biasa, binatang tersebut spontan berkicau, "Bapak Soeharto, Presiden Republik Indonesia."
Tiba-tiba Soeharto menjawab kicauan beonya. "Habibie," kata Soeharto. Pada saat itu BJ Habibie telah menjabat sebagai presiden menggantikan Soeharto.
Rupanya burung beo kembali berkicau, "Bapak Soeharto, Presiden Republik Indonesia." "Habibie," kata Soeharto. Namun beo lagi-lagi menyahut, "Bapak Soeharto, Presiden Republik Indonesia." Soeharto kemudian meninggalkan burung itu sambil bergumam, "Hmmmm...dasar beo!"
Itulah kisah lucu yang disaksikan Mayor Jenderal TNI Issantoso SH, ketika ia mendapat tugas sebagai ajudan Soeharto pada 1995-1998.
Alumnus Akabri 1974 tersebut menjadi saksi hari-hari terakhir Soeharto sebagai presiden setelah menjabat selama 32 tahun.
Menjelang pergantian tugasnya sebagai ajudan, Issantoso dipanggil Soeharto. "Beliau menanyakan kesehatan dan kabar keluarga saya. Kemudian Pak Harto menyampaikan ucapan terima kasih kepada saya," kata Issantoso dalam buku Pak Harto The Untold Stories, terbitan Gramedia Pustaka Utama.
Tak ada cendera mata yang diberikan Soeharto kepada pria kelahiran Tegal, 22 Mei 1952 tersebut mengaku memperoleh hal sangat berharga, yang berusaha dijalankan sebaik-baiknya. Apa sesuatu yang dianggap sangat berharga tersebut? Ternyata sebuah nasihat.
"Jika kamu ingin berumur panjang, melayatlah orang mati dan doakan dia. Jika ingin sehat selalu, jenguk dan bantulah mereka yang sakit. Jika ingin banyak mendapat rezeki, datangilah orang hajatan. Jika ingin kaya, belajarlah pada orang China. Jika ingin mendapat akhirat, dekatlah dengan para kiai dan ulama."
Issantoso mengungkapkan, masa menjelang Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden merupakan masa penuh kenangan, terutama 20 Mei 1998 malam. "Pada saat itu saya bertugas sebagai ajudan jaga di Cendana," kenang Issantoso.
Malam itu Soeharto sudah masuk kamar, namun tak berapa lama datang utusan membawa dokumen. "Begitu saya tahu dokumen itu begitu penting untuk disampaikan, saya mengetuk pintu kamar Pak Harto," ujarnya.
Dokumen itu berisi pernyataan sejumlah menteri yang tidak bersedia bergabung lagi dalam kabinet yang tengah disiapkan Soeharto. Pada malam seperti itu Soeharto masih terjga untuk berzikir dan salat malam sehingga dokumen langsung diterima.
"Meskipun Pak Harto tidak menjadi presiden lagi, saya tetap menjalankan tugas sebagai ajudan Pak Harto. Saya melihat Pak Harto tidak begitu tampak bersedih, apalagi terpukul. Sebaliknya, cenderung lebih ringan menjalani hari-harinya di Cendana dengan lebih tenang," katanya.
Serangan Badai Jelang Wafatnya Ny Tien Soeharto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beberapa hari setelah Ny Tien Soeharto meninggal dunia, Minggu, 28 April 1996, sekitar pukul 05.10 WIB, beredar isu di masyarakat yang menyebut the first lady tersebut karena dua anak lelakinya bertengkar memprebutkan proyek mobil nasional.
Bambang Trihatmojo dan Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) dkabarkan terlibat baku tembak. "Sebuah tembakan diisukan mengenai Ibu Tien. Itu adalah rumor dan cerita yang sangat kejam serta tidak benar sama sekali," ujar Jenderal Polisi Purn Sutanto, mantan ajudan Presiden Soeharto 1995-1998, dalam buku Pak Harto The Untold Stories, terbitan Gramedia Pustaka Utama.
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tersebut merupakan saksi hidup detik-detik meninggalnya Ny Tien Soeharto. "Saya saksi hidup yang melihat Ibu Tien terkena serangan jantung medadak, membawanya ke mobil, dan terus menunggu di luar ruangan saat tim dokter RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) melakukan upaya medis," kata Sutanto.
Bermula ketika Ny Tien mengunjungi sentra pembibitan buah Mekarsari. Sedang Seoharto, pada saat itu, Sabtu, 27 April 1996, berada dalam perjalanan pulang dari kawasan perairan sebelah barat Anyer, Jawa Barat, setelah memancing bersama rombongan.
Soeharto berangkat memancing, Jumat, 26 April 1996. Tak seperti biasanya, hanya dua ekor ikan dapat ditangkap. "Ini kok tidak seperti biasanya," celetuk Soeharto saat itu. Sore hari, cuaca mendadak semakin tidak bersahabat, sehingga Soeharto dibawa ke kapal TNI AL yang lebih besar.
"Karena gelombang makin besar dan angin berembus kencang, dengan alasan keselamatan, semua tamu penting pindah ke kapal AL," ujar mantan Kapolri tersebut. Setelah badai reda, pagi harinya Soeharto kembali ke Jakarta.
Ketika Soeharto bertemu Ny Tien pada Sabtu sore, suasana berlangsung seperti biasa. Hanya saja, Ny Tien harus banyak beristirahat karena kelelahan. Sekitar pukul 04.00, Ny Tien mendapat serangan jantung mendadak.
"Ibu Negara tampak sulit bernafas. Dalam kondisi genting segera diputuskan membawa Ibu Tien ke RSPAD Gatot Soebroto, tempat beliau sebelumnya beberapa kali menjalani pemeriksaan," kenang Sutanto.
Dokter kepresidenan, Hari Sabardi, memberi bantuan alat pernafasan. Saat itu, selain Soeharto, Tommy dan Sigit Hardjojudanto ikut mendampingi Ny Tien. "Pada ssat-saat terakhir itu Pak Harto mendapingi Ibu Tien di rumah sakit. Saya menyaksikan bagaimana Pak Harto mengalami kesedihan yang amat mendalam," kata mantan Komisaris Utama PT Pertamina tersebut.
Kejadian aneh saat Soeharto memancing di perairan sebelah barat Anyer baru disadari Sutanto sebagai firasat setelah beberapa hari meninggalnya Ny Tien Soeharto. "Hal itu mungkin pertanda menjelang wafatnya Ibu Negara," ujar Sutanto. (bersambung....)