Mengulas Sejarah dan Asal Muasal Pontianak, Ada Yang Bilang Kota Kuntilanak!
Besok Selasa (23/10/2018) adalah hari istimewa bagi masyarakat Kota Pontianak. Kota Pontianak besok genap berusia 247.
Penulis: Mirna Tribun | Editor: Mirna Tribun
Laporan Wartawati Tribunpontianak.co.id, Mirna
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Besok Selasa (23/10/2018) adalah hari istimewa bagi masyarakat Kota Pontianak.
Kota Pontianak besok genap berusia 247.
Berbagai acara digelar untuk semarakkan peringatan HUT Kota Pontianak.
Baca: Tempat Nongki Baru The Gade Coffe & Gold di Kota Pontianak, Cafe Pegadaian ke-16
Baca: Seru! 29 Kelurahan Ikut Festival Saprahan Hari Jadi Kota Pontianak 247
Baca: Deretan Fakta Terkuak Tentang Video Bugil Dua Perempuan Diduga di Hotel My Home Sintang
Berbicara tentang Pontianak, Anda mungkin belum mengetahui banyak tentang Pontianak, baik dari asal namanya bahkan sejarah berdirinya.
Kali ini Tribun Pontianak akan mengulasnya untuk Anda.
Sejarah Kota Pontianak
Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal.
Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak.
Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami' (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur.
Sejarah pendirian kota Pontianak yang dituliskan oleh seorang sejarawan Belanda, V.J. Verth dalam bukunya Borneos Wester Afdeling, yang isinya sedikit berbeda dari versi cerita yang beredar di kalangan masyarakat saat ini.
Menurutnya, Belanda mulai masuk ke Pontianak tahun 1194 Hijriah (1773 Masehi) dari Batavia.
Verth menulis bahwa Syarif Abdurrahman, putra ulama Syarif Hussein bin Ahmed Alqadrie (atau dalam versi lain disebut sebagai Al Habib Husin), meninggalkan Kerajaan Mempawah dan mulai merantau.
Di wilayah Banjarmasin, ia menikah dengan adik sultan Banjar Sunan Nata Alam dan dilantik sebagai Pangeran.
Ia berhasil dalam perniagaan dan mengumpulkan cukup modal untuk mempersenjatai kapal pencalang dan perahu lancangnya, kemudian ia mulai melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.