Anggota Barisan Pemuda Nusantara Desak Pengesahan RUU Masyarakat Adat
Hal tersebut diantaranya, disebabkan situasi lembaga-lembaga yang mengalami tumpang tindih di dalam kawasan hutan lindung.
Penulis: Rizki Fadriani | Editor: Madrosid
Citizen Reporter
Sekretaris 1 BPAN Kalbar
David Ryu
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Bella
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Sumber Daya Alam (SDA) pada hakikatnya merupakan anugerah yang diberikan oleh sang pencipta, sebagai cikal bakal untuk membangun perabadan.
Namun pada masa modernisasi saat ini, pengolahan sumber daya alam lebih banyak dikelola dengan cara-cara yang tidak memperhatikan kelestarian serta keberlangsungan hidup masyarakat yang
menggantungkan hidupnya pada alam.
Hingga akhir 2018 ini, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat jumlah konflik yang ada pada wilayah masyarakat adat mencapai 262 konflik yang berkaitan dengan sektor perkebunan, pertambangan, bahkan dengan proyek-proyek pembangunan PLTA.
Baca: H-7, KPU Kubu Raya Akan Distribusikan Logistik ke Tingkat PPK
Hal tersebut diantaranya, disebabkan situasi lembaga-lembaga yang mengalami tumpang tindih di dalam kawasan hutan lindung.
Berkaitan dengan pelaksanaan Pilkada, penerbitan surat izin dan hak terkait sumber daya alam perusahaan kian marak, dimana Korupsi Sumber Daya Alam menjadi trend yang kerap kali timbul menjelang pilkada sebagai sumber pendanaan suksesi pemilu.
Anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara Kalimantan Barat Xaverius Govin mengatakan bahwa Korupsi Sumber Daya Alam sangat berdampak serius terhadap masyarakat khususnya Masyarakat Adat, karena mereka hidupnya kepada alam.
Hal itu ia sampaikan, usai mengikuti Diskusi Publik mengenai Korupsi Sumber Daya Alam Ditahun Politik, yang digelar di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kuningan, Jakarta Selatan pada Kamis 31 Mei 2018.
Govin juga menjelaskan, pemerintah harus secepatnya mengesahkan RUU Masyarakat Adat, sebab hal itu dirasa penting mengingat beberapa hal terkait.
"Pengesahan RUU Masyarakat Adat Itu penting sebab, pertama adalah untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh Masyarakat Adat dalam mempertahankan, memperjuangkan dan memulihkan hak-haknya yang dirampas oleh perusahaan atau pemerintah. Alasan kedua adalah karena regulasi yang mengatur tentang masyarakat sampai saat ini belum memadai, " terangnya.
Govin menjelaskan bahwa, sebenarnya sudah ada Undang-Undang dan putusan-putusan yang isinya mengatur tentang keberadaan dan hak-hak masyarakat adat.
" Sebenarnya kita sudah memiliki putusan dan Undang-Undang terkait hal itu, seperti UUD 1945 pasal 18B ayat (2) dan 281 ayat (3) tentang pengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat Adat dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35 Tahun 2012 yang menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Adat, bukan lagi sebagai hutan, " paparnya.
Baca: Ustaz Felix Siauw Lotarkan Sindiran Pedas Pada Dewan Pengarah BPIP, Netizen: Yang Gila Siapa Yah!