Panin Sekuritas Target 2018 Indeks Tembus Level 6516
kami meyakini pertumbuhan kenaikan harga komoditas akan lebih terbatas dibanding tahun-tahun sebelumnya
Penulis: Tri Pandito Wibowo | Editor: Jamadin
Laporan Wartawati Tribun Pontianak, Maskartini
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Equity Analyst Panin Sekuritas, Nico Laurens mengatakan 2018 pasar saham semakin positif melihat perbaikan kondisi ekonomi di Indonesia. Namun kekhawatiran datang dari sisi valuasi. Meskipun sebenarnya kata Nico valuasi Indonesia sudah relatif mahal dibandingkan negara lain.
"Nantinya akan ada pertumbuhan laba dari emiten yang lebih baik di 2018. Untuk sektor, ada konstruksi, telekomunikasi, konsumsi, media dan juga property. Kita menargetkan indeks akan mencapai level 6516 di tahun 2018. Kita memiliki topik saham di tahun ini, BBCA, Telkom, BBNI, Telkom, Gudang Garam, UNFR, Indofood, Adaro, PTPA, Excl Waskita," ujar Nico pada Minggu (14/1/2018).
(Baca: LINK LIVE STREAMING Liverpool vs Manchester City, Guardiola Imbau Pemain Fokus )
Secara global kata Nico pertumbuhan ekonomi global mengalami perbaikan di 2017, dimana pertumbuhan Amerika membaik ke level 2,3 % di 3Q17
(3Q16: 1,5%), Asia 5,03% di 3Q17 (3Q16: 4.7%), ini diikuti oleh membaiknya inflasi, yang menjadi salah satu leading indicator dari membaiknya daya beli masyarakat, dimana inflasi U.S
membaik di level 2% di September 2017 (Sept-16: 1,5%), inflasi Eropa di 1,5% (Sept-16: 0,4%).
Meskipun ekonomi global sudah menunjukan perbaikan, namun angka ini lebih lambat dari perkiraan para ekonom dan analis. Selain itu index purchasing uncertainty juga menunjukan kenaikan, yang menunjukan kehati-hatian pelaku ekonomi dalam melakukan pembelian dan investasi, sempat meningkat ke level 310 di awal tahun, dari yang sebelumnya di level 100.
Ekonomi Eropa juga mulai menunjukan perbaikan, dimana perbaikan terlihat dari inflasi dan juga perbaikan pengangguran, dimana rata-rata pengguran turun ke level 10%, ini memicu para ekonom untuk menaikan estimasi pertumbuhan mereka untuk Eropa ke level 2,2% diikuti dengan peningkatan prospek untuk negara Prancis, Jerman dan Italia.
Sementara di Cina, proses transisi ekonomi dari industrial ke konsumsi mulai terlihat di Cina, dimana tingkat consumption to GDP naik kel level 64,6% di 2016, sementara industrial production ke level 28%, proses transisi ini mengakibatkan pertumbuhan CIna melambat ke level 6,4%. Resiko di Cina juga semakin meningkat setelah debt-to-GDP Cina naik ke level 259,3%.
Secara makro pertumbuhan perekonomian yang melambat (3Q17:5,06% vs 3Q16 : 5,01%) dikontribusi oleh perlambatan konsumsi (3Q17:4,93% vs 3Q16:5,01%). Perlambatan ini didorong oleh segmen menengah ke bawah, terlihat dari adanya tren penurunan pertumbuhan retail sales, penjualan sepeda motor, dan peningkatan NPL segmen SME, meskipun ada tren peningkatan pertumbuhan upah.
Untuk mengantisipasi perlambatan yang berkelanjutan, Pemerintah harus melakukan big push policy, untuk saat ini adalah insentif fiskal, mengingat kebijakan moneter mentransmisikan insentif secara sangat lambat ke perekonomian riil. Dengan insetif fiskal seperti menahan pemungutan pajak yang agresif hingga konsumsi membaik, diharapkan dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di FY18.
"Sementara itu, kami meyakini pertumbuhan kenaikan harga komoditas akan lebih terbatas dibanding tahun-tahun sebelumnya, hal ini akan berdampak kurang baik bagi perekonomian, terutama melalui penurunan pertumbuhan pendapatan bagi perusahaan-perusahaan lokal yang memiliki eksposur yang tinggi terhadap komoditas dan juga bagi bank- bank yang memberikan pinjaman kepada perusahaan yang commodity-based," ujar Nico.
(Baca: Kalah Lawan Islandia, Presiden Jokowi Puji Para Pemain Timnas Indonesia )
Sementara di sisi lain, investasi adalah satu-satunya komponen yang memberikan optimisme bagi perekonomian di FY18 ditengah peningkatan kepercayaan investor terhadap perekonomian dan
upaya agresif dari Pemerintah untuk menyakinkan investor. Dari sisi sektor keuangan, Indonesia memiliki potensi resiko capital outflow mengingat Indonesia termasuk salah satu negara
yang melakukan kebijakan ekpansif di tengah negara-negara maju yang melakukan tightening.
Jika capital outflow terjadi dengan sangat masif, maka akan menyebabkan pelemahan Rupiah yang cukup signifikan. Untuk saat ini, Indonesia masih memiliki buffer yang cukup untuk mengantisipasi volatilitas Rupiah tersebut, di level 126 miliar AS.
Untuk pasar saham, dari sisi likuiditas, perbaikan ekonomi Eropa dan U.S mengakibatkan rebalancing, dimana dana ekuitas keluar dari pasar Indonesia sebesar Rp26 triliun, dan dana kembali ke Eropa sebagai top buyer sebesar Rp4,479 triliun sementara dari pasar obligasi, dana kembali masuk ke U.S dengan pembelian sebesar Rp3,538 triliun. "Ini adalah outflow tahunan terbesar Indonesia selama 10 tahun terakhir, namun indeks saham masih positif, didorong oleh kuatnya domestik investor," ujarnya.