Kisah Penenun Sambas, Lestarikan Warisan Turun Temurun
Menenun sudah menjadi budaya turun temurun bagi masyarakat Sambas di Desa Sumber Harapan yang dijuluki Desa Wisata Tenun.
Penulis: Tri Pandito Wibowo | Editor: Dhita Mutiasari
Laporan Wartawati Tribun Pontianak, Maskartini
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Mengunjungi Kota Sambas sepertinya kurang lengkap bila belum mengunjungi Desa Sumber Harapan RT 6, RW II, Kecamatan Sambas. Menenun sudah menjadi budaya dan wraisan turun temurun bagi masyarakat Sambas di Desa Sumber Harapan yang dijuluki Desa Wisata Tenun.
Tak heran pengrajin kerap mendapatkan kunjungan dari pengunjung lokal dan wisatawan luar. Pada Kamis (4/8/2017) Forum Jurnalis Ekonomi Khatulistiwa (Fojekha) bertandang langsung dan melihat proses menenun kelompok Sumber Rezeki yang terdiri dari Misda, Leni, Nely, Kamsiah dan Aida.
Jika dulu mayoritas penenun hanya menjadi kuli dan mengambil upah dari pemilik modal. Kini dengan bantuan dari Bank Indonesia pada 2016 lalu masyarakat bisa melangsungkan aktivitas menenun di rumah masing-masing.
Bank Indonesia melalui kegiatan CSR-nya yang disampaikan melalui Dompet Umat tahun lalu memberikan bantuan alat tenun sebanyak 30 unit dengan total Rp 84 juta dan benang sebagai bahan baku Rp 71 juta atau total keselurahan sebesar Rp 155 juta.
Baca: Desa Wisata Tenun, Destinasi Menarik di Kota Sambas
Pada 2014 lalu didukung Dompet Umat Kalbar, di desa ini juga digelar rekor MURI dengan tenun terpanjang 161 meter dan lebar 70 meter. Tenun tersebut dibuat dengan berbagai macam motif kain tenun dan proses pembuatannya tanpa terputus selama satu tahun sejak bulan Oktober 2013 hingga Oktober 2014 oleh 13 pengrajin.
Kelompok Sumber Rezeki merupakan salah satu kelompok yang cukup eksis semenjak mendapatkan bantuan. Seperti Nely yang menggantungkan hidupnya dan kedua anaknya. Sebagai ibu tunggal Nely mengaku selain menenun rela menjadi buruh kebun.
"Saya nenun juga noreh karena sayakan ibu tunggal, ambek upah juga. Saya bisa nenun sampai 3 kain perbulan. Karena kebutuhan hidup saya dari nenun. Kejar target untuk anak sekolah. Anak tertua kelas 2 SD dan anak kedua 10 bulan," ujar Nely yang menjadi ibu tunggal sejak enam bulan lalu.
Nely mengaku dari hasil menenunnya ini perekonomian keluarganya sangat terbantu. "Harapan kita penjualan lancar dan ada yang nampung. Harganya juga diharapkan semakin mahal dari di jual ke bos. Kalau bos kan bisa jual ke Brunei, Arab, Malaysia pemasarannya keluar dari Indonesia," ujar Nely.
Mempunyai skill menenun bagi Nely sebagai solusi permasalahan hidupnya sehingga mantan TKI ini memilih kembali ke kampung halaman. "Saya nenun sejak kelas 5 SD dari harga kain Rp7000 sehelai. Pernah berhenti nenun dan menjadi TKI Malaysia selama 5 tahun. Karena tertekan dan lelah makanya saya kembali nenun," ujarnya dengan senyum.
Pemasaran salah satu yang menjadi kendala banyak pengrajin di desa ini. Misda mengaku tetap menenun meskipun tidak ada pesanan. "Biasanya ada yang datang kerumah dari Putussibau temannya adek, ada juga pesanan. Ditawar-tawarkan, kalau tidak ada pembeli kami jual ke pengumpul tapi harganya murah, " ujar Misda.
Harga tenun Sambas, selendang berkisar Rp350 ribu dan untuk kain harganya Rp950 ribu tergantung benang yang digunakan. Kalau ke pengumpul Misda mengaku hanya bisa menjual dengan harga sekitar Rp700 ribu. Namun ia bersyukur lantaran saat ini aktivitas menenun bisa dilakukan di rumah.
"Sebelum ada bantuan dari BI kita gunakan alat bos. Proses pembuatannya memang memakan waktu lama jadi hasil tak seberapa. Syukur kita sudah ada bantuan dari BI harganya bisa lebih mahal. Kalau kuli dulu kita dapat upah sekitar Rp250 ribuan perhelai. Modal dan alat dari bos," ujar Misda.
Serong apam dan mawar diakui Misda menjadi motif yang paling banyak dipesan. Sedangkan untuk motif tradisional harganya lebih mahal karena antik seperti pucuk rebung dengan berbagai variasinya. "Satu kelompok selain bisa sharing bisa berbagi order jadi tidak ada persaingan," ujarnya.