TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Soedarso Pontianak mengalami peningkatan signifikan dalam jumlah klaim BPJS yang tertunda (Pending Klaim BPJS) setiap bulannya.
Jika sebelumnya angka pending klaim berada di bawah 10 persen, kini angkanya melonjak menjadi 15 hingga 20 persen, bahkan pernah di th 2024 menyentuh 25 persen.
Direktur RSUD dr Soedarso, Hary Agung Tjahyadi, yang juga sebagai Ketua Pengurus Wilayah ARSADA Kalbar, menjelaskan bahwa lonjakan tersebut terjadi sejak diterapkannya pengetatan kebijakan verifikasi dan validasi klaim oleh BPJS Kesehatan sejak Pebruari 2024. terutama klaim kasus severity level 3, seperti rawat inap Pneumoni ,perawatan dengan ventilator, Malnutrisi,Sepsis,Keganasan (Ca), Hipokalemi, Hiponatremia,LOS 1-2hr,Cardiac arrest, bayi rawat pisah dengan ibu.
“Pengetatan aturan ini membuat tidak semua klaim rumah sakit bisa langsung disetujui. Dampaknya terasa sangat besar bagi rumah sakit daerah. Apalagi RSUD berstatus BLUD yang sangat bergantung pada pendapatan untuk operasional Rumah Sakit,” ujar Hary, pada Minggu 1 Juni 2025.
Namun, dilatakannya terkait pending klaim BPJS ini, akan diajukan ulang pada bulan berikutnya setelah perbaikan atau penjelasan dari tim klaim rumah sakit ke BPJS sesuai dengan hasil verifikasi validasi BPJS.
“Bila perbaikan dan penjelasan ulang kami di terima maka tetap akan dibayar oleh BPJS,”ucapnya.
drg Hary Agung Tjahyadi, menjelaskan bahwa tren ini muncul sejak Februari 2024, seiring dengan diberlakukannya prosedur verifikasi dan validasi yang lebih ketat oleh BPJS.
Baca juga: Disbunnak Kalbar Sebut Kebutuhan Hewan Kurban Jelang Idul Adha Capai 12.800 Ekor
“Pola pengetatan klaim BPJS itu memang membuat tidak semua klaim rumah sakit bisa langsung disetujui. Sekarang, rata-rata klaim pending di rumah sakit kami berada di angka 15 sampai 20 persen, bahkan pernah menyentuh 25 persen dalam sebulan,” ujar Hary.
Menurutnya, kondisi ini tidak hanya menyulitkan dari sisi pelayanan, tetapi juga berdampak pada aspek keuangan rumah sakit. Sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), RSUD sangat bergantung pada pendapatan operasional yang sebagian besar berasal dari klaim layanan BPJS.
Ia menekankan bahwa RSUD dr Soedarso bukan satu-satunya yang mengalami hal ini. Rumah sakit daerah di berbagai wilayah juga menghadapi masalah serupa, menjadikannya isu nasional yang perlu mendapatkan perhatian serius.
Dengan kondisi ini, Hary berharap ada perbaikan mekanisme dan komunikasi antara BPJS dan rumah sakit, agar proses klaim bisa kembali berjalan lebih efisien dan rumah sakit tidak terbebani secara sepihak.
Lebih jauh, Hary menyebut bahwa salah satu perubahan besar yang paling berdampak adalah kebijakan pembatasan penjaminan BPJS terhadap pasien Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Jika sebelumnya semua pasien yang datang ke IGD dengan kartu BPJS bisa langsung dilayani, kini hanya kasus kegawatdaruratan murni yang dapat dijamin.
“Pasien yang tidak masuk kategori gawat darurat otomatis tidak bisa ditanggung BPJS. Tagihan itu tidak bisa diklaim, sehingga harus masuk kategori pasien umum dan membayar sendiri. Ini kerap menjadi pemicu komplain di lapangan,” jelasnya.
Ia menilai, kebijakan tersebut kerap memicu kebingungan dan benturan di antara masyarakat dan petugas rumah sakit. Ditekankannya bahwa seharusnya sosialisasi harus dilakukan tidak hanya oleh pihak RS, namun juga dari pihak BPJS.
“Jangan semua beban komunikasi dilimpahkan ke rumah sakit. BPJS seharusnya juga aktif memberikan edukasi kepada masyarakat tentang apa saja yang bisa dan tidak bisa ditanggung klaim BPJS,” tegas Hary. (*)
- Baca Berita Terbaru Lainnya di GOOGLE NEWS
- Dapatkan Berita Viral Via Saluran WhatsApp
!!!Membaca Bagi Pikiran Seperti Olahraga Bagi Tubuh!!!