Manfaat dan Efek Daun Kratom, Tanaman Asal Kalimantan yang Disebut BNN Mengandung Narkotika

Editor: Rizky Zulham
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Manfaat dan Efek Daun Kratom, Tanaman Asal Kalimantan yang Disebut BNN Mengandung Narkotika

Manfaat dan Efek Daun Kratom, Tanaman Asal Kalimantan yang Disebut BNN Mengandung Narkotika

Kratom (Mitragyna speciosa) secara tradisional digunakan sebagai tanaman obat di Kalimantan dan daratan Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Thailand, dan Myanmar.

Sebuah kajian ilmiah mengungkap, kratom sudah menjadi tanaman yang dikonsumsi masyarakat Thailand bagian selatan dan Malaysia bagian utara.

Kratom dipercaya dapat membantu mengurangi rasa sakit, membuat rileks, mencegah kelelahan, dan membantu pecandu opium untuk berhenti.

Manfaatnya pun sudah terdengar ke seluruh dunia hingga sangat populer di Amerika Serikat.

Namun, legalitas kratom saat ini dipertanyakan banyak negara, dan Indonesia lewat Badan Narkotika Nasional sedang memroses kratom menjadi obat-obatan terlarang Golongan I.

Lantas, apa saja manfaat, efek samping, dan risiko dari mengonsumsi kratom berdasarkan studi?

Sekilas tentang kratom

Sebelum membahas manfaat dan risiko, ada baiknya kita mengenal apa itu kratom.

Kratom masih satu keluarga dengan kopi (Rubiaceae). Tanaman tropis ini bisa tumbuh setinggi 4 sampai 16 meter.

Para petani kratom biasa memanfaatkan daunnya yang memiliki lebar melebihi telapak tangan orang dewasa.

Sejauh ini, ada sekitar 300.000 petani di Kalimantan yang mengandalkan kratom sebagai mata pencaharian.

Dalam satu hari, tiga petani bisa memetik 200 kilogram daun kratom yang jika kering akan susut menjadi sepersepuluhnya.

Daun kering tersebut kemudian dibentuk menjadi remahan hingga berbentuk mirip daun teh hijau kering.

Manfaat dan efek samping kratom berdasarkan studi
Banyak jurnal ilmiah telah meneliti dan mengkaji tentang manfaat dan efek samping dari kratom, baik dilakukan ahli dari dalam negeri maupun internasional.

Dalam jurnal berjudul Manfaat Biokimia, Diagnosis, dan Evaluasi Risiko Klinis Kratom yang terbit di National Center of Biotechnology Information (NCBI), edisi April 2017, ahli dari AS menemukan, efek samping kratom tergantung pada dosis pemakaian.

Studi yang dilakukan Dimy Fluyau dari Universitas Emory Atlanta, dan Neelambika Revadigar dari Universitas Columbia New York, meninjau 195 artikel penelitian tentang kratom sejak 2007 hingga 2017 untuk menganalisis manfaat, risiko, dan evaluasi diagnosis kratom.

Analisis data menunjukkan, kratom memiliki beberapa manfaat seperti efek stimulan dan obat penenang, serta mengurangi rasa nyeri.

"Namun, kratom dapat menyebabkan kolestasis intrahepatik (kondisi yang memengaruhi aliran empedu hati), kejang, aritmia, mengganggu fungsi memori, koma, hingga kematian," tulis ahli dalam laporan mereka.

Selain itu, kratom juga berdampak pada psikologis dan medis.

Secara psikologis, kratom memicu euforia dan perasaan rileks terhadap gejala yang parah seperti agresi, permusuhan, dan psikosis.

Sementara manifestasi medis yang digambarkan adalah poliuria, kejang, mulut kering, dan muntah.

Poliuria adalah kondisi di mana jumlah urin yang dihasilkan terlalu banyak sehingga menyebabkan penderitanya sering buang air kecil.

"Individu yang mengonsumsi kratom dalam dosis besar berisiko mengalami keracunan dan menerima efek buruk dari kratom, terutama bagi mereka yang juga mengonsumsi alkohol berlebih. Dan toksisitas serius jarang terjadi, biasanya setelah mengonsumsi dengan dosis tinggi," tulis ahli dalam laporan mereka.

"Kami berargumen, efek samping kratom lebih besar dari manfaatnya. Bahkan ada penelitian pada hewan yang menunjukkan kratom memicu cedera hati. Meski ini risiko langka, tapi sangat mengkhawatirkan," imbuh penulis.

Sementara itu, jurnal ilmiah yang ditulis Mariana Raini dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI menemukan, penggunaan kratom secara rutin atau dalam suatu periode dapat menimbulkan adiksi dan ketergantungan.

"Pengguna yang mencoba menghentikan penggunaan kratom dapat menyebabkan gejala putus obat," tulis Mariana dalam laporannya.

Gejala putus obat antara lain anoreksia, nyeri dan kejang otot, nyeri pada tulang dan sendi, mata/hidung berair, rasa panas, demam, nafsu makan turun, diare, halusinasi, delusion, mental confusion, gangguan emosional, dan insomnia.

Dia menuliskan, kratom memiliki efek seperti narkotika dan dapat menimbulkan adiksi.

Daun Kratom Kategori Narkotika Golongan I

Polemik Tanaman Kratom yang terjadi belakangan ini membuat pemerintah terus melakukan kajian dan mendalami kandungannya.

Bahkan BNN telah mengeluarkan sikap terkait tanaman Kratom.

Hal itu disampaikan pada saat focus group discussion yang dilakukan BNN bersama Forkompimda Kalbar dan kabupaten kota se-Kalbar di Hotel Mercure Pontianak, Selasa (5/11/2019).

Kepala BNN Pusat, Komisaris Jenderal Polisi Drs. Heru Winarko menuturkan bahwa Daun Kratom masuk dalam kategori narkotika golongan 1.

Kemudian sikap BNN terhadap Kratom juga dituangkan dalam surat yang dilayangkan pada kementerian dan badan terkait di Indonesia.

 

Dalam sikap itu, BNN memasukkan Kratom dalam daftar yang dilarang untuk digunakan dalam suplemen makanan dan obat tradisional.

Bahkan dijelaskan pula bahwa efek yang ditimbulkan Kratom 13 kali kekuatannya dari morfin.

Kepala BNN RI, Komisaris Jenderal Heru Winarko memberikan jawaban saat ditanya apakah saat ini bisnis kratom dan budidaya kratom legal atau ilegal.

Heru Winarko mengatakan, soal bisnis dan budidaya kratom ini bukan masalah legal dan ilegal.

"Tapi pelan-pelan ditertibkan. Memang saat ini kalau dalam bentuk tanaman belum jadi permasalahan, tapi apabila sudah dalam bentuk kemasan dan ekstrak sudah dilarang saat ini," katanya, dalam FGD di Hotel Mercure Pontianak, Selasa (5/11/2019).

Heru Winarko menegaskan secara bertahap akan disosialisasikan pada masyrarakat terkait tanaman Kratom ini.

Memang saat ini kalau dipasarkan dalam bentuk bubuk dan lain-lain sesuai peraturan BPPOM ada larangan Kratom tidak boleh dijadikan ekstrak makanan serta obat tradisional.

"Yang memutuskan larangan nanti bukan BNN tapi kita bawa pada pemerintah pusat antar kementerian. Kami hanya menyampaikan segala permasalahan dan plus minus terkait keberadaan daun Kratom," ujarnya.

Aturan penggolangan Kratom pada Narkotokan golongan satu juga akan dikeluarkan dari komite penggolongan narkoba sehingga menjadi dasar dan pihaknya terus sosialisasikan dalam masa transisi ini.

Saat ini ia menegaskan memang perdagangan dalam bentuk tanaman Kratom belum ditindak, tapi kalau diperjualbelikan dalam bentuk bubuk dan ekstrak sudah bisa ditindak.

Heru mengatakan, kratom masuk kategori golongan satu di dalam narkotika.

"Secara bertahap akan dibuatkan aturan dan masa transisi lima tahun agar masyarakat beralih dari tanaman kratom ini," ucap Heru Winarko saat diwawancarai.

BNN telah memastikan memasukkan kratom dalam daftar yang dilarang untuk digunakan dalam suplemen makanan dan obat tradisional sama halnya aturan yang dikeluarkan oleh BPPOM.

Karena efek yang ditimbulkan dari kratom sangat luar biasa, bahkan dijelaskannya efek yang ditimbulkan Kratom 13 kali kekuatannya dari Morfin.

Sementara itu, Gubernur Kalbar, Sutarmidji dalam sambutannya saat FOcus Group Discussion mengenai tanaman Kratom yang diadakan BNN, menyatakan bingung terkait Kratom.

Pasalnya selama ini banyak masyarakat yang minum dan konsumsi kratom tapi tidak membuatnya ketergantungan dan merubah pikiran.

"Kalau ganja kan begitu orang konsumsi pemikirannya langsung berubah kalau kate orang Pontianak itu layau," ucap Midji saat memberikan sambutan, di Hotel Mercure Pontianak, Selasa (5/11/2019).

Oleh karena itu, ia menegaskan harus ada kajian lebih lanjut dan ia heran juga dikatakan kalau kandungan zat adiktif sangat tinggi.

Dengan adanya aturan pelarangan, maka menurutnya pemerintah harus mencarikan solusi bagi masyarakat agar penghasilan mereka tidak hilang.

Berita Terkini