Melemahnya Rupiah Terhadap Dollar, Apindo Sanggau Tegaskan Tak Sama Dengan Kondisi Krisis 1998

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kabupaten Sanggau, Konggo Tjintalong Tjondro

Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Hendri Chornelius

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SANGGAU - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Sanggau, Konggo Tjintalong Tjondro, mengatakan, melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar yang mencapai hampir Rp 15 ribu per USD dan itu lebih pada faktor eksternal dan tak sama dengan krisis moneter 1998.

“Ini kan dampak dari kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) serta perang dagang antara Amerika dengan Tiongkog,” katanya, Sabtu (8/9/2018).

Baca: Unit Jatanras Polres Singkawang Amankan Pelaku Penggelapan Sepeda Motor

Baca: Bupati Dan Wabup Sanggau Diagendakan Tutup Festival Budaya Paradje Pasaka Negeri Ke-X

Dikatakan Konggo, dengan kondisi ini, pengusaha tentu akan mengurangi impor.

Hanya saja ia belum tahu pasti sejauhmana pengaruh melemahnya Rupiah terhadap Dollar.

Yang menjadi persoalan sekarang, khusus untuk crude palm oil (CPO) sawit sulit untuk diekspor.

“Kalau Sanggau memang komoditi terbesar kan sawit. Kalau karet itu belum ada kenaikan. Kalau dari sisi harga kan sangat menguntungkan kita (jika diekspor). Tapi sekarang kan orang tidak membeli CPO. Karena di Eropa sana, sedang panen bunga matahari. Itu salah satu pengaruhnya juga. Makanya tanki-tanki di pabrik swasta itu sekarang masih banyak stok CPO-nya. Sementara buah ini kan tak bisa ditunda, Harus panen Itu juga satu pengaruh,”jelasnya.

Anggota DPRD Sanggau itu mengatakan, sebenarnya jika ekspor lancar, kenaikan harga Dollar justru membawa berkah bagi pegusaha. Terlebih komoditas dalam negeri, terutam sembako tidak terjadi gejolak harga.

“Jagung tidak naik, beras tidak naik, gula tidak naik. Saya pikir lebih menguntungkan. Cuma yang pengaruh yang mahal ya barang-barang elektronik. Tapi itu kan yang terkena dampak yang menengah ke atas. Masyarakat bawah tidak, Sedangkan sembako kan tidak naik. Jadi tidak ada masalah,”tegasnya.

Konggo menilai melemahnya nilai tukar Rupiah tersebut merupakan hal yang wajar. Fluktuasinya hanya sekitar 9,8 persen. Ini sekali berbeda dengan negara lain, misalnya, Turki. Mata uang Turki, Lira, yang persentase anjloknya mencapai 60 persen. Kondisi ini pun berbeda dengan ketika 1998 lalu.

“Kondisi ini juga sama sekali berbeda dengan krisis 98. Waktu itu harga Dollar Rp2500 per USD naik menjadi Rp 15 ribu per USD. Kalau sekarang kan bisa lihat Fluktuasinya sedikit, hanya 9,8 persen. Jadi berbeda. Kalau kita lihat negara lain seperti Turki, Malaysia yang terkena dampak kenaikan Dollar, mereka mau bangkrut tapi kita tidak,”tuturnya.

Hanya saja, Konggo menilai, lantaran tahun ini adalah tahun politik, isu melemahnya Rupiah kerap menjadi isu politik. “Jadi selalu memberikan data-data yang tidak benar. Dan lebih banyak nuansa politisnya, makanya jangan digoreng jadi isu politik lah,” pungkasnya. 

Berita Terkini