Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Rizky Prabowo Rahino
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SINTANG – Masalah pengunduran diri puluhan Guru Garis Depan (GGD) program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan jadi dilema bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sintang. Hingga per 18 Juli 2017, jumlah guru yang mengundurkan diri mencapai 26 orang.
“Hari ini ada 2 lagi mengajukan, total sudah 26 orang guru GGD mengundurkan diri. Itu data yang kami dapatkan langsung dari Kemendikbud. Kami juga menyayangkan hal ini padahal tinggal menunggu turun SK CPNS dan Nomor Induk Pegawai (NIP),” ungkap Kepala Badan Kepegawaian dan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Palentinus saat diwawancarai Tribun Pontianak, Selasa (18/7/2017) sore.
26 orang GGD merupakan warga pendatang yang berasal dari luar Kabupaten Sintang diantaranya Pulau Jawa dan Sumatera. Pengunduran diri disebabkan oleh berbagai alasan pertimbangan.
“Saya lihat bermacam-macam alasan mereka. Paling banyak itu pertama, anaknya masih kecil. Kedua, orangtua tidak merestui. Ketiga, tempatnya jauh. Kemudian ada juga karena terpisah penempatan, seperti dua orang GGD asal Pontianak, suami-istri lulus GGD. Satu di Ketungau Hilir, satu di Tempunak,” jelasnya.
Baca: Jadi Tersangka, Pengamat Politik: Setya Novanto Jadi Beban dan Merusak Citra Golkar
Mundurnya 26 GGD jelas kerugian bagi Pemerintah Pusat. Pasalnya, Kemendikbud telah memberikan pendidikan dan pelatihan selama dua tahun kepada GGD sebelum diterjunkan ke lokasi penempatan.
“Sudah dididik dan dilatih selama dua tahun. Kan sayang kalau begitu,” timpalnya.
Palentinus menjelaskan dari total 297 guru program GGD, mayoritas berasal dari luar Kalbar. Hanya ada satu orang GGD asli Sintang yang lulus.
“Selain dua dari Pontianak tadi. Pada dasarnya mayoritas lulus GGD itu orang luar Kalbar. GGD asli Sintang hanya satu orang saja dari 19 orang yang Tes Kompetensi Dasar (TKD) online,” katanya.
Putera dan puteri daerah diakui masih belum bisa berkompetensi lantaran terganjal kebijakan dan persyaratan khusus yang ditetapkan oleh Kemendikbud yakni sertifikat pendidik. GGD murni program Kemendikbud, otomatis Pemerintah Kabupaten (Pemkab) tidak bisa mengubah ketentuan dari Pemerintah Pusat (Pempus).
“Hanya saja memang datanya dari Diskdikbud masing-masing Kabupaten dan Kota. Seperti sekolah-sekolah mana saja yang membutuhkan, begitu,” urainya.
Palentinus tidak memungkiri masih banyak kepala-kepala daerah di seluruh wilayah Indonesia yang pro dan kontra. Bahkan beberapa kepala daerah memandang program GGD menimbulkan kecemburuan lantaran guru GGD langsung datang dan mengajar di lokasi penempatan.
“Ya, waktu pertemuan di Hotel Sahid belum lama ini. Ada yang bersuara dan mengusulkan bagaimana jika tenaga kontrak saja yang diakomodir. Berbagai saran disampaikan,” imbuhnya.
Palentinus memandang program GGD seperti dua sisi mata uang berbeda. Di satu sisi, GGD menguntungkan Pemkab Sintang dalam upaya pemerataan pendidikan di wilayah Terluar, Terdepan dan Terpencil (3 T).
Di sisi lain, GGD membuat kesempatan putera-puteri daerah tidak punya kesempatan dan kalah bersaing guna mengabdi sebagai tenaga pendidik berstatus Aparat Sipil Negara (ASN).
“GGD ini bagi kita di daerah diuntungkan dan tidak diuntungkan. Satu sisi GGD ini, mereka datang bawa ilmu untuk membantu daerah supaya anak-anak di pedalaman mengenyam pendidikan. Sisi lain, putera-puteri daerah kalah bersaing,” tukasnya.