OPINI Perang Dagang AS-Tiongkok Berlanjut: Kesempatan Indonesia dalam Memajukan Pembangunan Ekonomi
Kebijakan ini digunakan oleh Trump untuk menyelidiki praktik perdagangan serta memberikan tarif bagi produk impor yang berasal dari Tiongkok.
Najwa Annisa Fhoenna
Mahasiswi Universitas Tanjungpura, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Prodi Ilmu Hubungan Internasional
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Istilah Perang Dagang AS-Tiongkok tidak asing terdengar semenjak awal tahun 2018. Perang ini bermula dikarenakan tudingan Amerika Serikat (AS) terhadap Tiongkok dalam masalah pencurian hak kekayaan intelektual oleh entitas Tiongkok dan rahasia perdagangan AS, serta masalah hak asasi.
Faktor-faktor tersebut yang membuat AS mengeluarkan kebijakan tarif impor terhadap Tiongkok.
Namun, sebagai balasan terhadap kebijakan tersebut, Tiongkok melawan AS dengan menetapkan kebijakan tarif impor pula dan membantah semua alegasi dari AS.
Donald Trump sebagai Presiden AS yang menjabat pada masa tersebut, menetapkan kebijakan tarif impor pada 22 Maret 2018 tentang kebijakan yang didasari oleh Pasal 301 Undang-Undang Perdagangan tahun 1974 tentang perjanjian perdagangan sebagai bentuk wewenang bagi Presiden dalam mengambil keputusan yang dirasa sesuai.
Kebijakan ini digunakan oleh Trump untuk menyelidiki praktik perdagangan serta memberikan tarif bagi produk impor yang berasal dari Tiongkok.
Kebijakan ini dikukuhkan oleh United States Trade Representative (USTR) sebagai salah satu upaya penyelesaian masalah kebijakan dalam World Trade Organization (WTO) pada praktik perdagangan Tiongkok.
Laporan yang dikeluarkan oleh PBB pada November 2019, menyatakan bahwa tarif AS terhadap Tiongkok merugikan kedua negara secara ekonomi.
• OPINI Dinamika Politik Indonesia - Tiongkok: Kemitraan atau Ketergantungan
Dampaknya terhadap AS adalah tarif ini meningkatkan biaya bagi produsen, menaikkan harga untuk konsumen, dan menimbulkan kesulitan keuangan bagi petani.
Sementara itu, di Tiongkok, perang dagang memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ekspor industri.
Banyak perusahaan AS mengalihkan rantai pasokan mereka ke negara-negara lain di Asia, memicu kekhawatiran tentang decoupling ekonomi antara AS dan Tiongkok.
Perang dagang juga menimbulkan kerugian ekonomi di negara-negara lain, meskipun beberapa negara mendapatkan manfaat dari peningkatan manufaktur karena produksi berpindah. Kebijakan tarif ini berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama.
Kebijakan tersebut berlangsung selama beberapa tahun sebagai bentuk hukuman AS terhadap tuduhan pelanggaran praktik perdagangan Tiongkok.
Semua kebijakan masih dijalankan dengan ketentuan yang diselenggarakan sampai pada masa di mana COVID-19 melanda seluruh dunia.
Pada 2020-2021, pandemi COVID-19 memperlambat arus Perang Dagang AS-Tiongkok karena alasan kemanusiaan. Namun, situasi ini tidak sepenuhnya menghentikan konflik di antara AS dan Tiongkok.
Perang ini berlanjut hingga sampai pada masa lengser kepresidenan Donald Trump yang digantikan oleh Joe Biden.
Joe Biden sebagai pemimpin baru, meninjau lebih lanjut mengenai Perang Dagang yang masih berlanjut.
Joe Biden selaku Presiden AS melanjutkan kembali kebijakan tarif impor, bahkan menaikan beberapa tarif terhadap barang tertentu.
Sebagai contoh, Biden meningkatkan tarif impor untuk kendaraan listrik dari China menjadi dua kali lipat dari tarif sebelumnya, yaitu 100 persen.
Tidak sampai di situ, Biden juga mengambil langkah untuk meningkatkan pungutan pajak untuk sejumlah produk baja dan aluminium sebesar 25 persen, serta meningkatkan tarif untuk produk semikonduktor sebesar 50 persen, setelah melakukan tinjauan terhadap kebijakan bea masuk yang diterapkan pada masa pemerintahan Trump.
Walau Trump dan Biden meyakini bahwa praktik perdagangan Tiongkok telah melanggar peraturan yang ada di dalam WTO, Biden memiliki strategi diplomasi yang berbeda dibandingkan dalam masa pemerintahan Trump silam.
Pendekatan diplomatis dilakukan oleh Presiden AS, Joe Biden sebagai upaya dalam penyelesaian konflik yang sudah terjadi selama kurang lebih 6 tahun.
Biden sudah beberapa kali berkomunikasi dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping.
Pendekatan dalam bentuk komunikasi ini juga digunakan oleh Biden sebagai bentuk konfrontasi dalam praktik perdagangan Tiongkok, terlebih lagi terhadap hubungan ekspor-impor antara dua belah negara mereka.
Biden mengatakan bahwa ia akan mengambil keputusan yang dirasa sesuai, jika hal ini dapat mengancam keamanan nasional negara Amerika Serikat.
Sedangkan bagi Xi Jinping, kebijakan tarif impor yang sudah dimulai oleh AS benar-benar tidak menguntungkan kedua negara mereka, terlebih lagi terhadap konsumen dari dua belah negara.
Xi mengatakan kalau ia tak akan tinggal diam dan akan mengambil tindakan yang dirasa sesuai pula bagi kesejahteraan negaranya.
Pemerintah di seluruh dunia telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi kerusakan yang ditimbulkan oleh perang dagang ini.
Salah satunya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagi Indonesia, perang dagang tidak membawa dampak yang terlalu berarti bagi keberlangsungan ekonomi di Indonesia, khususnya pada kegiatan ekspor Indonesia kepada negara AS dan Tiongkok.
Kebijakan yang diterapkan oleh AS dan Tiongkok hanya berlaku kepada kedua negara mereka, sehingga hal tersebut sebenarnya membuka peluang bagi negara-negara lain untuk menggaet relasi dan diplomasi dalam sektor ekonomi dan industri, terlebih lagi bagi negara dengan kekayaan alam yang melimpah seperti Indonesia.
Indonesia kini sudah memiliki hubungan bilateral yang kuat dengan masing-masing negara yang tengah berperang tersebut, apakah perlu melakukan evaluasi ulang dalam kegiatan ekspor dan diplomasi?
Untuk sekarang terdapat beberapa upaya dilakukan oleh Indonesia, sebagai upaya dalam meningkatkan nilai kualitas barang asli dan produk-produk nasional.
Pertama, Indonesia berkemungkinan untuk memajukan pasar-pasar nasional dan emerging market untuk mempercepat proses industrialisasi.
Kedua, Indonesia dapat menjadi rumah bagi perusahaan-perusahaan asing yang mencari pasar alternatif.
Perusahaan internasional dapat membantu Indonesia menjalin kerja sama dan membuka peluang investasi dengan mereka. Hal ini juga berkaitan dengan impian nasional Indonesia yaitu “Indonesia Emas 2045”.
Terakhir, Indonesia dapat melakukan kegiatan ekspornya ke negara-negara lain selain AS dan Tiongkok daripada terlalu bergantung dengan kedua negara tersebut.
Dengan demikian, Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan alam melimpah, memiliki peluang untuk memajukan perekonomian nasional.
Indonesia mempunyai banyak sekali peluang dalam mengembangkan produk-produk nasionalnya untuk kepentingan nasional serta bagi kegiatan ekspor yang ada di Indonesia.
Hal ini merujuk pada Indonesia yang harus bisa beradaptasi dan mandiri di tengah perang dagang AS-Tiongkok yang sedang terjadi. Indonesia dihadapkan dengan peluang-peluang yang dapat mendorong cita-cita nasional Indonesia, yaitu “Indonesia Emas 2045”. (*)
Dapatkan Informasi Terkini dari Tribun Pontianak via SW DI SINI
Ikuti Terus Berita Terupdate Seputar Kalbar Hari Ini Di sini
Citizen Reporter
Opini
perang dagang
Amerika Serikat
Tiongkok
Indonesia
Joe Biden
Donald Trump
Xi Jinping
ekonomi
internasional
Jadwal Liga 2 dan Hasil Pertandingan Terbaru: Pekan 3, PSMS Medan Vs Sumsel United hingga Persela |
![]() |
---|
Lewat GEMA EMAS 2045, Windy Ajak Generasi Muda Kalbar Wujudkan Indonesia Maju |
![]() |
---|
Sosok Nadya Almira, Eks Ratu FTV Kembali Disorot Usai Kasus Tabrak Lari 13 Tahun Lalu Diungkit |
![]() |
---|
Rekap Skor Liga 2 Hari Ini: Sriwijaya FC Tambah Poin, Cek Sumsel United Vs Persiraja Banda Aceh |
![]() |
---|
Klasemen Liga 2 Zona Barat: Persiraja Banda Aceh Nol Poin, Sumsel United Tempel Garudayaksa |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.