Khazanah Islam

Apa Hukum Bagi Orang yang Naik Haji dengan Dana Pinjaman atau Hutang? Bolehkah?

Memiliki utang atau berhutang dalam konteks perjalanan haji dapat mengakibatkan beban finansial dan stres di masa mendatang.

Editor: Hamdan Darsani
Dok. Kompas.com
Bolehkah orang yang naik haji dengan dana pinjaman. Simak penjelasan singkat berikut ini. 

Perbekalan pulang dan pergi ini berupa bekal di luar dari kebutuhan untuk melunasi utang yang menjadi tanggungannya.

Hal ini berlaku bagi utang yang harus segera dilunasi atau utang yang tidak harus segera dilunasi sebagaimana penjelasan Imam An-Nawawi berikut ini:

ويشترط في الزاد ما يكفيه لذهابه ورجوعه فاضلا... عن قضاء دين يكون عليه حالا كان أو مؤجلا

Artinya, “Dalam urusan bekal, disyaratkan biaya yang dapat mencukupi kebutuhan pergi dan pulangnya lebih di luar… kebutuhan untuk membayar utang baik yang harus dibayar tunai maupun yang dapat diangsur,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Hajj pada Hasyiyah Ibni Hajar, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], halaman 47).

Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa seseorang yang memiliki dana terbatas sementara ia juga memiliki utang yang tidak harus segera dilunasi–sebaiknya menggunakan uangnya untuk pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji.

Pilihan ini dilakukan dengan alasan bahwa pembayaran utangnya dapat ditunda.

A​​​​​​​nggapan seperti ini tidak cukup kuat secara syar’i.

Pasalnya, bekal haji adalah uang mati seseorang yang dialokasikan untuk pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji tanpa tanggungan apa pun.

Meski pembayaran utang dapat ditunda, seseorang tetap berkewajiban untuk melunasinya dari aset di luar bekal yang dia miliki.

نعم لو قيل بذلك في المؤجل لكان له وجه لأن لم يجب إلى الآن والحج إذا تضيق وجب فورا فكان ينبغي وجوب تقديمه عليه وقد يجاب بأن الدين محض حق آدمي أو له فيه شائبة قوية فاحتيط له لأن الاعتناء به أهم فقدم على الحج وإن تضيق

Artinya, “Tetapi seandainya dikatakan ‘pembayaran utang dapat diangsur’ lalu ada pendapat mengatakan, ‘Bila utang tidak wajib hingga kini sementara kewajiban pelaksanaan haji adalah segera, maka seharusnya seseorang mendahulukan haji daripada pembayaran utang,’ maka dapat ditanggapi bahwa utang adalah murni hak manusia atau ada perkara menakutkan yang sangat kuat sehingga harus ihtiyath. Pasalnya, memerhatikan utang lebih penting sehingga pembayaran utang harus didahulukan dibanding haji meski (kesempatan) haji semakin mepet baginya,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar, Hasyiyah Ibni Hajar alal Idhah, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], halaman 47-48).

Dari sini kita dapat menarik simpulan bahwa seorang Muslim/Muslimah terkena kewajiban haji jika memiliki bekal pergi dan pulang tanpa menanggung utang.

Ketika memiliki tanggungan utang, maka ia harus melunasi dulu tanggungannya sebelum melunasi setoran biaya penyelenggaraan ibadah haji. (*)

Artikel diatas disadur dari laman Kemenag RI 

Cek Berita dan Artikel Mudah Diakses di Google News

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved