Khazanah Islam
Bolehkah Mengambil Kembali Barang yang Telah Dihibahkan? Hukum dan Rukun Hibah dalam Islam
Seseorang boleh memberikan hibah kepada orang lain, meskipun tidak ada hubungan keluarga. Penerima hibah tidak berkewajiban memberikan balasan apapun
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Setiap muslim yang beriman tentu harus selalu bersyukur.
Kenapa bersyukur, alasanya bahwa Allah menganugerahkan begitu banyak nikmat kepada kita, termasuk harta kekayaan.
Tahukah kamu bahwa harta yang kita miliki sebenarnya titipan yang patut kita sadari adalah sebanyak apapun harta yang kita miliki hanya sebatas titipan Allah SWT.
Pada konten belajar kali ini, kita akan bahas tentang arti, hukum dan rukun Hibah.
Pembahasan berikut ini dinukil dari buku pelajaran fiqih kelas 8 Mts/SMP terbitan Kementerian Agama.
• Pengertian dan Hukum Sedekah dalam Agama Islam
Hibah berasal dari bahasa arab yang artinya pemberian.
Sedangkan menurut istilah hibah ialah pemberian sesuatu yang dilakukan oleh seseorang ketika masih hidup kepada seseorang secara cuma-cuma, tanpa mengharapkan apa-apa kecuali ridha Allah SWT semata.
Seseorang boleh memberikan hibah kepada orang lain, meskipun tidak ada hubungan keluarga.
Penerima hibah tidak berkewajiban memberikan balasan apapun kepada pemberi hibah.
Hibah dinyatakan sah apabila sudah ada ijab qabul (serah terima).
Apabila keinginan Hibah itu baru diucapkan dan belum ada serah terima barang yang dihibahkan, maka hal demikian belum bisa disebut Hibah.
Hukum Hibah
Hukum asal hibah adalah mubah atau boleh. Sebagian ulama mengatakan hibah hukumnya Sunnah.
Hibah dimakruhkan apabila tujuannya adalah riya‟ (agar dilihat orang) atau sum`ah (didengar orang lain) dan berbangga diri.
Rukun hibah ada empat, yaitu :
Orang yang memberi hibah disebut dengan waahib.
Waahib harus memiliki beberapa syarat antara lain:
- Berhak dan cakap dalam membelanjakan harta, yakni baligh dan berakal.
- Dilakukan atas dasar kemauan sendiri, bukan karena paksaan dari pihak lain.
- Dibenarkan melakukan tindakan hukum.
Orang yang menerima hibah (mauhuub lahu) Penerima hibah (mauhuub lahu) disyaratkan sudah ada ketika akad hibah dilakukan.
Jika ketika akad berlangsung tidak ada, atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya, maka tidak sah dilakukan hibah kepadanya.
Atau orang yang diberi hibah itu ada di waktu pemberian hibah, namun dia dalam keadaan terganggu akalnya, maka hibah tersebut diambil oleh walinya, pemeliharanya atau orang mendidiknya sekalipun dia tidak ada hubungan keluarga.
Syarat barang yang dihibahkan (mauhub) antara lain:
- Milik pemberi hibah (waahib).
- Barang sudah ada ketika akad hibah berlangsung.
- Memiliki nilai atau harga
- Berupa barang yang boleh dimiliki menurut agama.
- Telah dipisahkan dari harta milik pemberi hibah (waahib)
- Barang bisa dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah (waahib) kepada penerima hibah (mauhuub lahu)
- Akad atau ijab dan kabul.
Mengambil Kembali Hibah
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu hukumnya haram, kecuali hibah dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya, sebagaimana dengan sabda Nabi dari hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang artinya sebagai berikut.
“Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu Dawud).
Hibah dapat dicabut karena beberapa sebab, antara lain:
- Hibahnya orang tua terhadap anaknya, karena orang tua melihat bahwa mencabut itu demi menjaga kemaslahatan anaknya. Contoh seorang ayah menghibahkan sebuah motor kepada anaknya. Namun ternyata motor tersebut tidak digunakan semestinya dan sering bolos sekolah. Maka orang tua boleh menarik kembali hibahnya.
- Bila dirasakan ada unsur ketidakadilan diantara anak-anaknya.
- Bila dengan adanya hibah itu ada hal yang dapat menimbulkan iri hati dan fitnah dari pihak lain. (*)
.
.
.
.
.
Cek Berita dan Artikel Mudah Diakses di Google News