Lain dari Muhammadiyah! Cara Pemerintah Menentukan Awal Puasa 2022 1 Ramadan 1443 H
Beda dari Muhammadiyah, pemerintah baru akan menggelar Sidang Isbat pada Jumat 1 April 2022 untuk menentukan awal 1 Ramadan 1443 Hijriyah.
Penulis: Rizky Zulham | Editor: Rizky Zulham
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Beda dari Muhammadiyah, pemerintah baru akan menggelar Sidang Isbat pada Jumat 1 April 2022 untuk menentukan awal 1 Ramadan 1443 Hijriyah.
Sementara Muhammadiyah yang menggunakan metode Hisab sudah menetapkan 1 Ramadan 1443 H pada Sabtu 2 April 2022.
Berikut ini perbedaan metode Rukyat dan Hisab yang sering digunakan untuk menentukan awal bulan Ramadan.
Diketahui, Kementerian Agama (Kemenag) akan menggelar Sidang Isbat (penetapan) 1 Ramadan 1443 H pada Jumat (1/4/2022) petang.
Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Adib, menjelaskan bahwa sidang Isbat akan mempertimbangkan informasi awal berdasarkan hasil perhitungan secara astronomis (hisab) dan hasil konfirmasi lapangan melalui mekanisme pemantauan (rukyatul) hilal.
Kedua cara tersebut sudah tertuang pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 2 Tahun 2004 dan UU Nomor 3 Pasal 25 A.
• Penentuan Awal Puasa 1 Ramadhan dengan Metode Hisab dan Rukyatul Hilal, Mana yang Lebih Baik?
Lantas, apa bedanya metode Rukyat dan Hisab?
Metode Rukyatul Hilal
Diwartakan Tribunnews.com sebelumnya, rukyatul hilal secara harfiah artinya melihat bulan secara langsung melalui alat bantu seperti teropong.
Aktivitas pengamatan ini berfokus pada visibilitas hilal atau bulan sabit muda saat matahari terbenam sebagai tanda pergantian bulan pada kalender Hijriah.
Namun, jika cuaca terhalang gumpalan awan atau mendung, tak jarang rukyatul hilal menemui kesulitan untuk melihat bulan sabit muda.
Jika hal itu terjadi, maka hilal dianggap tak terlihat sehingga penentuan awal puasa Ramadan digenapkan pada lusa berikutnya.
Petugas yang melakukan rukyatul hilal di antaranya ahli astronom, pimpinan pondok pesantren, ahli klimatologi hingga masyarakat umum yang ingin terlibat langsung.
Dalam tradisi tiap tahun, pemantauan hilal akan dikoordinir oleh Kemenag yang bekerja sama dengan ormas serta para pakar dari BMKG, Lapan, dan pondok pesantren, untuk melakukan perhitungan soal ketinggian hilal agar tidak terjadi 'salah lihat'.
Sebab terdapat aturan baku sebagai syarat terlihatnya hilal, yakni jika tinggi hilal berada di bawah 2 atau 4 derajat, maka kemungkinan obyek yang dilihat bukan hilal, melainkan bintang, lampu kapal, atau obyek lainnya yang kebetulan terlihat kasat mata di angkasa.