Dwi Rohyani: Pengerajin Songket Tenun Sambas Hanya Tersisa 300-an Orang
Sehingga bisa menjadi sektor usaha UMKM yang bisa membuka lapangan pekerjaan ditengah Pandemi Covid-19.
Penulis: Muhammad Luthfi | Editor: Jamadin
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SAMBAS- Kain Songket Benang Emas Sambas, yang ditenun oleh para pengerajin di Sambas adalah simbol tingginya peradaban dan budaya dari Kabupaten Sambas.
Kain songket ini sudah sejak dulu menjadi ciri khas tersendiri bagi Kabupaten Sambas dan masyarakatnya.
Bagaimana tidak, kilau emas yang ada di kain songket itu menjadi daya tarik sendiri bagi penggunanya.
Satu di antara motif yang banyak diminati adalah bunga emas dan pucuk rebung.
Dimana mengandung makna semakin tinggi nilainya, semakin terpandang juga pemakainya. Dalam pernikahan, kain Tenun Songket Sambas juga merupakan syarat tidak tertulis dalam setiap pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Sambas.
Prosesi antar pinang atau penyerahan barang untuk mempelai perempuan yang dilakukan oleh mempelai laki-laki, juga mutlak harus disertai dengan kain tenun atau songket sambas.
Meski bukan hukum adat yang tertulis, tali ini sudah menjadi keharusan bagi mempelai laki-laki untuk diberikan kepada mempelai perempuan.
Disampaikan oleh salah satu pengerajin kain tenun atau songket Sambas, Fajar Dwi Rohyani, budaya ini harus terus dijaga oleh masyarakat Sambas, sebagai simbol tingginya peradaban masyarakat Sambas.
• Menenun Songket di Hadapan Almarhum Presiden Soeharto dan Ibu Tien, Inilah Cerita Mardiah
Meski dia tidak memungkiri bahwa bahwa saat ini, seiring dengan kemajuan dunia teknologi dan moderenisasi zaman, tenun tradisional ini mulai tidak diminati oleh generasi muda Sambas.
Kata dia, saat ini dari kurang lebih 600 ribu masyarakat Sambas, hanya 250 sampai dengan 300 orang saja yang masih berprofesi menjadi penenun kain songket Sambas.
Dari jumlah itu kata dia, hanya sedikit yang masih berusia produktif di kisaran 30 tahunan.
Sisanya sudah menginjak kepala lima, atau 50 tahun keatas.
"Ini satu kendala yang kita hadapi, jika sebelumnya menjadi penenun kain songket Sambas tidak begitu diminati karena pasarnya yang sempit dan harganya terlalu murah," ujarnya, Minggu 11 Oktober 2020.
"Sekarang popularitas dan kualitas telah menjayakan kain ini hingga selalu dicari. Tapi para penenun kita sudah berusia 50-an, ini sebagian besar dari 250 hingga 300 penenun yang ada di Kabupaten Sambas, yang usianya 30 an bisa dihitung dengan jari," sambungnya.
Dengan usia itu kata dia, tidak heran jika produktivitas dari Pengerajin tenun Sambas mulai turun. Karenanya kata dia, potensi dari kerajinan tenun Sambas ini harus dilirik oleh anak muda Sambas.
Lebih lagi kata dia, sekarang kain songket Sambas ini sedang diminati oleh banyak orang, dan permintaannya tinggi.
Sehingga bisa menjadi sektor usaha UMKM yang bisa membuka lapangan pekerjaan ditengah Pandemi Covid-19.
Wajar jika para pengerajin kain songket Sambas bimbang, karena tidak ada penerus untuk melanjutkan karya seni kain Songket Sambas yang sudah mendunia.
Kata dia, bukan hanya dia, tapi banyak pengerajin juga merasakan bimbang yang sama. Karenanya, dia mendorong agar Sekolah-sekolah bisa membuat satu kegiatan muatan lokal, yang bisa di praktekkan siswa-siswi, salah satunya adalah bertenun kain songket Sambas.
"Sejauh ini sudah ada satu sekolah yang aware terhadap nilai budaya, tradisi dan ekonomi dari tenun kain songket Sambas," katanya.
"SMAN 1 Sajad menjadikan Bertenun Kain Songket Sambas sebagai pelajaran muatan lokal mereka," tutupnya.
Sebagaimana diketahui, Fajar Dwi Rohyani, yang juga merupakan ASN di Kabupaten Sambas, ini sekarang menjadi tali bagi para penenun di Sambas dengan berbagai pihak yang peduli agar songket sambas lestari.